Postingan

Saudade (Bagian 3) -Cerpen

Gambar
Waktu menunjuk pukul empat sore, langit yang indah seolah menyuarakan aku untuk duduk sejenak beristirahat di hari Minggu yang cerah. Aku sudah mendapatkan pekerjaan dan kontrakan sementara. Di kota ini, aku memulai lagi semuanya dari awal, semoga kota ini bukanlah awal yang buruk. Sudah seminggu aku mulai tinggal di kontrakan ini, dan mulai besok aku bisa bekerja di salah satu kantor berbasis jurnalistik. Aku berinisiatif untuk memindahkan kolam katakku yang ada di sana menjadi ke sini. Dan hari inilah semua katak-katak itu tiba. Jika kau pikir koleksiku hanyalah katak hijau yang melompat di dalam selokan, kau salah. Katak-katak di sini begitu bervariasi mulai dari warna hingga jenisnya. Monis tidak kuberitahu hal ini, sebab aku takut dia akan menghancurkan katak-katak yang sudah kubeli dengan susah payah ini. Aku beranjak dari depan pintu ke kursi yang ada di teras dan meletakkan kopi yang sudah siap untuk diminum. Rumah di sini agak berdekatan, maklum sebab ini adalah perumahan....

Saudade (Bagian 2) -Cerpen

Gambar
Bus yang kunaiki melaju dengan kecepatan sedang menuju ke kota Pekanbaru, kota yang ditinggali oleh Monis saat ini. Huft .... Tidak pernahkah Monis sadar? Ada perasaan yang ia tinggalkan di kota Medan, perasaan yang kini mencari pengisinya. Perjalanan menuju kota Pekanbaru terasa sangat panjang. Entah jarak yang terasa sangat jauh, atau mungkin rindu yang tak sabar bertatap temu. Aku tidak bisa tidur, pandanganku hanya terarah pada panjangnya rerumputan di pinggir jalan, dan pengemudi sepeda motor dan mobil yang lalu-lalang. Kenapa tidak dari dulu saja aku begini, aku yang bodoh malah duduk diam menunggu dicari, padahal aku lelaki, aku yang harusnya berjuang lebih keras. Monis tidak kuberitahu akan kedatanganku. Alamatnya kuminta sejak seminggu yang lalu sebelum keberangkatanku ini. Setelah mendapat alamatnya itu, rasanya aku langsung ingin terbang ke sana, memeluknya erat. Ibu benar, hanya temu obat rindu. Sesering apa pun video call  dan telponan, tidak akan pernah mengobati r...

Saudade (Bagian 1) -Cerpen

Anganku terbang melayang pada sosokmu, sahabatku, yang sangat kurindukan. Aku dan dia sudah bersahabat baik sejak masih di bangku SMP, di mana ada dia, di situ kau bisa temukan aku. Aku suka memanggilnya dengan sebutan bojak, yang kalau diterjemahkan dari bahasa Batak ke Bahasa Indonesia artinya katak. Lucu sekali, aku menyebutkan begitu karena ia suka sekali dengan hewan berlendir itu. Kalau katanya, katak itu hebat, diam saja dia bisa makan. Dia bergerak waktu sedang pengin saja, katanya. "Memangnya kamu katak, Jak?" tanyaku padanya. "Enggak sih, cuma aku bisa merasakannya." Aku tertawa mendengarnya, bagaimana bisa seorang wanita yang seharusnya jijik dan geli dengan hewan amfibi itu, malah bisa sebaliknya. Ia bahkan bercita-cita untuk menjadi pawang di kebun binatang agar bisa merawat gajah, hewan yang disukainya setelah katak. "Mon," panggilku. "Iya, tumben manggilnya gitu, pasti ada maunya, 'kan?" tebaknya, dan benar sekali. ...

Tiga Pagi (Bagian 2) -cerpen

Saat aku membuka mata, secara ajaib ada dua orang teman sekantorku muncul di hadapanku. "Gimana keadaanmu saat ini, Pat?" tanya seorang teman wanitaku yang berambut pendek, aku akrab menyapanya sebagai Louise. "Sudah lebih mendingan," ucapku sekenanya pada temanku itu. "Pat, maaf ya. Kami dengan lancang menerobos masuk, karena berkali-kali kami ketuk pintu rumahmu, tidak kamu buka-buka," ujar seorang temanku yang lainnya yang berambut sepunggung, aku sering memanggilnya Rose. "Tak apa." "Tugasku selesai," seru seorang lagi yang baru saja datang, ternyata itu adalah Denice, si wanita berambut blonde sebahu. "Apa yang selesai, Nice?" tanyaku tak mengerti. Ia tersenyum dan dengan semangat menjawab pertanyaanku, "Membereskan rumahmu ini. Aku tidak tahan melihatnya kotor dan sangat berdebu, jadi aku berinisiatif membersihkannya, tak apa 'kan?" ujarnya dengan semangat. "Iya, lagi pula setiap hari Ibu terus...

Tiga Pagi (Bagian 1) -cerpen

Gambar
Entah apa yang selalu menggangguku hingga aku selalu terbangun di pukul tiga pagi, aku tidur sekamar dengan adikku yang berusia tujuh tahun. Ia juga kerap mengalami hal yang serupa denganku, bahkan kami sering terbangun bersamaan. Aneh sekali, selelah atau selarut dan senyenyak apa pun aku tidur, aku akan selalu terbangun di pukul tiga itu. Entahlah apa yang menyebabkan aku begitu. "Patricia, ayo sarapan, sebentar lagi kau berangkat bekerja bukan?" Aku yang tengah bermalas-malasan di sofa yang berada di ruang televisi merasa berat sekali untuk beranjak. "Bukannya sekarang hari Minggu, Bu?" Ah, Ibu, selalu saja ia lupa dengan hari, entah apa yang dia pikirkan hingga ia menjadi seperti itu. "Kenapa tidak bilang dari tadi, hari ini arisan akan dilaksanakan di sini, Patri!" Ia terlihat panik dan buru-buru pergi keluar, sepertinya ia akan belanja. Baiklah, ini akan menjadi hari Minggu yang melelahkan, lagi. Dan aku sendirian di sini membereskan rumah. Baik...

Tentang Harapan (Bagian 2)

Aku masih ingat dengan jelas, sangat, sangat. Emosimu yang mulai berganti kehangatan. Aku masih ingat, Bu. "Saudara, diputuskan bersalah, dan dihukum 15 tahun penjara." Suara ketuk palu keadilan berbunyi tiga kali, terdengar nyaring dan memenuhi seluruh ruang sidang. Tampak seorang laki-laki menangis, entah dia menyesal dengan perbuatannya, atau menangisi hidupnya yang akan terbuang dari masyarakat selama 15 tahun ke depan. Aku masih ingat, Bu. Dulu, kau sering memukuliku, dengan tatapan benci, yang aku pikir kau memarahiku karena rasa sayangmu. "Terima kasih, Bu. Akhirnya pembunuh anak saya menerima semuanya dengan setimpal." Seorang ibu paruh baya menangis haru, seolah ia mendapati anaknya yang telah meninggal, hidup kembali dan tengah tersenyum padanya. Tapi, aku bersyukur. Kebodohan dan kepolosanku kala itu, telah membawaku berjalan tertatih pada mimpiku. Ibu, maafkan aku telah lahir. Ini bukan keinginanku, bukan mauku lahir menjadi seorang anak yang diseb...

Tentang Harapan (Bagian 1)

Hujan tiada henti-hentinya mengguyur seluruh wilayah Hagen secara merata. Hujan yang terjadi sejak siang ini, juga tidak menunjukkan adanya tanda-tanda berhenti untuk turun, malah semakin ganas disertai adanya angin yang kencang. Langit pun meredup. Akibat dari hujan yang tidak kunjung berhenti untuk singgah, menyebabkan udara dingin yang sangat menusuk menyelimuti seluruh wilayah Hagen---merupakan nama desa di wilayah kecil pinggiran kota, yang berada dekat bantaran sungai. Tempat ini berada tiga kilometer dari rumahku. Setiap hari memang tugasku pergi berjualan kue-kue basah tradisional. Ini semua demi membantu perekonomian keluargaku, aku senang melakukannya. Tubuhku kini bergetar hebat, bibirku membiru dan sesekali merinding seluruh bulu romaku saat terpaan angin datang menghembus, mengelus tubuhku. Udara dingin semakin menusuk kala hari semakin sore, dan sedari siang tadi matahari tidak menunjukkan eksistensinya. Aku duduk sendirian di sudut ujung di depan toko yang tutup, den...