Saudade (Bagian 3) -Cerpen
Waktu menunjuk pukul empat sore, langit yang indah seolah menyuarakan aku untuk duduk sejenak beristirahat di hari Minggu yang cerah. Aku sudah mendapatkan pekerjaan dan kontrakan sementara.
Di kota ini, aku memulai lagi semuanya dari awal, semoga kota ini bukanlah awal yang buruk. Sudah seminggu aku mulai tinggal di kontrakan ini, dan mulai besok aku bisa bekerja di salah satu kantor berbasis jurnalistik.
Aku berinisiatif untuk memindahkan kolam katakku yang ada di sana menjadi ke sini. Dan hari inilah semua katak-katak itu tiba. Jika kau pikir koleksiku hanyalah katak hijau yang melompat di dalam selokan, kau salah. Katak-katak di sini begitu bervariasi mulai dari warna hingga jenisnya.
Monis tidak kuberitahu hal ini, sebab aku takut dia akan menghancurkan katak-katak yang sudah kubeli dengan susah payah ini.
Aku beranjak dari depan pintu ke kursi yang ada di teras dan meletakkan kopi yang sudah siap untuk diminum. Rumah di sini agak berdekatan, maklum sebab ini adalah perumahan. Tampak para tetangga baruku sedang sibuk pada aktivitasnya masing-masing, ada yang membakar sampah, menyapu halaman dan membawa cucunya berkeliling kompleks perumahan ini.
Rumahku dan rumah Monis tidak terlalu jauh, rumahnya terletak di tanah kavling yang sudah mereka beli untuk membangun rumahnya sendiri, di luar perumahan ini. Jadi, aku dan Monis seperti kembali ke masa ketika kami masih berada di kampung dulu.
"Rendra!" sapa seorang gadis yang berlari ke arahku dengan rambut kucir ekor kudanya yang bergoyang, dengan wajah yang begitu bahagia.
"Apa, Jak?"
"Duh, kau harus dengar, Ren." Dengan napasnya yang masih tersengal-sengal. Ia mengatur napasnya lalu duduk di kursi sebelahku.
"Bagi minum dong, kering nih tenggorokan. Aku ambil, ya." Aku keburu mencegahnya ketika ia hendak masuk, bisa gawat kalau dia lihat katak-katak itu.
Dengan buru-buru dan secepat kilat aku memberikan minum padanya. Dia habiskan minuman itu dengan sekali tegukan, manusia luar nalar, pikirku.
"Mau ngasih tahu apa, nih?" tanyaku tak sabar. Apakah ia putus dengan Ruben, amin ya, penduduk langit. Atau, dia sudah mulai cinta denganku? Sekali lagi, amin ya, penduduk langit.
"Kepo 'gak? Ck! Nanti kau ejek aku, malas."
"Eh, Bojak! Jadi fungsimu datang ke sini apa? Merebut oksigenku, hah?!" Terima kasih Tuhan, atas kesabaran luar biasa yang kau limpahkan pada hamba.
"Bukan, bukan itu, ada lagi yang lebih penting, bisa nebak 'gak?"
"Kau bisa bikin alis?"
"Ck! Sialan!" Ia menoyor kepalaku gemas.
"Kau bisa pakai softlens tanpa mencolok mata?" Ia hanya menghembuskan napasnya kasar, pertanda habis kesabaran.
"Aku kasih clue deh, berhubungan dengan masa depan," ujarnya sambil mengangkat alisnya pertanda menantangku.
"Astaga, Jak! Kamu udah punya anak?"
"Becandanya keterlaluan kau, Ren. Udahlah, malas main tebak-tebakan."
"Tadi nantangin, sekarang diambekin."
Aku bingung dengan sifat wanita yang satu ini, ada saja alasan yang bisa membuat lelaki salah, dan merasa bersalah.
"Jadi gini, waktu kau antar aku ke cafe di hari Senin itu, Senin seminggu yang lalu buat ketemu sama Ruben, ternyata dia udah siapin rencana buatku, Ren. Rencana yang luar biasa indah banget," ujarnya dengan senyum yang tidak pernah lekang dari wajahnya, aku iri dengan senyum yang bisa dihadirkan Ruben untuknya, bahkan ketika ia tidak di sini, senyum itu mampu dihadirkannya, dan aku iri.
"Rencana apa, Nis?"
"Ehm, nis, Monis, atau, nis, Manis?" godanya.
"Makanya bagus aku panggil kau Bojak." Ia tertawa, sambil memukul lenganku, kebiasaan kalian para wanita, bukan?
"Dia lamar aku." Dengan senyum semringah ia itu, ia meretakkan hatiku.
"Dia lamar aku di gunung Djadi, waktu kita lagi mendaki bareng sama teman-temannya. Awalnya aku rasa dia kayak aneh, ngapain coba ajak aku ke mendaki, padahal dulu dia benci banget tiap aku ajak naik gunung bareng.
"Momen paling berkesan selama aku dan Ruben bareng, selama di perjalanan pendakian, aku merasa aman banget di samping dia. Aku jatuh, dia tolong. Aku terpeleset, dia topang. Ah, aku 'gak mau momen itu berakhir.
"Dan, Ren. Diam-diam dia udah siapkan semua kebutuhan pernikahan, s-e-n-d-i-r-i-a-n. Kurang sempurna apa dia sebagai laki-laki, dan satu hal yang paling aku terkejut, dia tahu aku cinta sama katak! Dan dia tahu kalau aku suka banget sama bunga alyssum. Momen terbaik yang pernah aku rasakan sejauh ini."
Aku hanya bisa diam, tidak tahu harus bersikap bagaimana. "Jadi, kapan?"
"Apanya?"
"Pernikahanmu?"
"Dia bilang lebih cepat, lebih baik. Aku maunya minggu depan aja, tepat di hari ulang tahunku. Aku mau pernikahan ini jadi kado terindah yang aku dapat," jelasnya dengan binar yang tak dapat aku artikan.
"Semoga kalian bisa bahagia selalu, ya." Ia tersenyum lebar sekali sampai matanya mengerut mendengarku mengatakan itu.
"Terima kasih banyak, Rendra." Senyumnya masih juga tak lekang.
"Eh tapi tahu 'gak?" Dengan nada sedikit berbisik, dan sukses membuatnya penasaran.
"Apa, Ren?" tanyanya dengan nada berbisik juga, matanya melirik ke mana-mana.
"Aku sayang kamu," bisikku pelan di telinganya.
"Hah? Apa?"
"Aku sayang kamu," ucapku dengan nada biasa.
"Ren ... ayolah, ini sama sekali 'gak lucu."
"Iya, aku tahu ini 'gak lucu."
"Masa kamu mau langgar perjanjian kita sih, Ren." Senyumnya yang tadi terus mengembang kini sirna.
"Itu cuma perjanjian bocah-bocah labil yang bahkan belum pubertas, Monis. Kenapa kau harus anggap itu serius?" ucapku sedikit kesal dengan tanggapannya itu.
"Ren, kau kira ini sinetron? Kalau kau bilang 'aku sayang kamu', terus kau berharap aku juga bakal bilang, 'iya aku juga sayang kamu, Rendra', gitu? Enggak, Ren. Aku enggak pernah sayang sama kamu, aku cuma anggap kamu teman, sahabat, 'gak lebih, dan 'gak pernah lebih, Ren.
"Aku kira kamu beda, Ren. Enggak bakal sama kayak orang-orang, yang mengatasnamakan sahabat, sok-sokan selalu ada, selalu gini, ujung-ujungnya minta imbal. Ternyata benar kata Ruben, harusnya aku jauhin kamu." Ia benar-benar marah, dan aku tidak pernah lihat Monis semarah ini.
"Nis ...."
"Apa?"
"Kamu marah banget, ya?"
"Ck! Aku sama sekali 'gak marah, aku cuma kecewa, kamu 'gak bisa jaga komitmen kamu, Ren."
"Aku minta maaf, aku lalai dan 'gak bisa memenuhi janji itu. Nis, tapi manusia mana yang 'gak jatuh cinta setelah bermain, bercanda cukup lama dengan wanita pertama yang ia terima dalam hidupnya setelah ibunya? Orang mana, Nis?"
"Aku," ucapnya percaya diri.
"Iya, tapi aku bukan lelaki pertama 'kan yang menjadi sahabatmu, hatimu sudah berbenteng, Nis. Aku?" Ia terdiam. Hening menyelimuti teras ini.
Lagi-lagi senja menyapa, hendak menyampaikan hari sebentar lagi akan berakhir. Orang-orang mulai masuk ke dalam rumahnya masing-masing.
"Nis, aku minta maaf. Aku cuma mau menyampaikan ini supaya kelak aku 'gak nyesal. Aku cuma takut sama penyesalan itu, karena waktu enggak akan pernah bisa diulang. Tujuanku cuma itu, aku enggak mengharap kau balas mencintaiku, aku cuma kau tahu dan itu harus langsung dari bibirku.
"Aku cuma enggak mau nyesal. Mungkin terdengar egois karena aku melibatkan kamu.
"Kamu tahu, Nis. Semua sketsa lamaran itu aku yang rancang, aku! Kau tau berapa kali air mataku menetes ketika berharap bahwa orang yang ada di puncak itu adalah aku.
"Katak, bunga, pendakian dan bahkan sunrise, yang tidak kau jelaskan di ceritamu, itu semua karanganku, Nis! Di malam kau bilang Ruben menyuruhmu menjauhiku, di saat itu ia menelponku untuk merencanakan ini semua. Aku kira kalau bunga dan pendakian wajar ia tidak tahu, tapi kalau katak? Aku rasa satu kampung tahu kau suka katak.
"Sini, Nis aku tunjukkan." Aku menariknya masuk melihat katak-katakku.
"Bahkan katak yang dia kasih ke kamu itu adalah katak dari koleksiku, Nis. Dan Kalau kau kira semua orang mengharapkan imbal cinta dari kisah yang berawal dari persahabatan kau salah besar.
"Aku Nis, aku, aku orang yang asalkan lihat kau tersenyum bahagia rasanya aku bisa tidur dengan tenang. Rasanya senyummu itulah satu-satunya obat untuk kesakitanku." Setetes air mataku terjatuh.
"Ren, setelah apa pun yang kamu bilang, aku tetap 'gak bisa sayang samamu, aku tetap 'gak bisa memilihmu. Terima kasih banyak, Ren. Aku pulang dulu, ya." Ia yang sedari tadi diam, ternyata menahan tangis, tangisnya tumpah setelah ia pergi menjauh dari rumahku.
Hari pernikahan Monis tiba, dan aku hadir sebagai sahabatnya. Dengan balutan gaun putih yang indah, ia tampak memesona, ia Monis yang cantik, dan sangat sempurna saat dipasangkan dengan Ruben. Air mataku kembali menetes.
Aku naik ke panggung, hendak menyalami mereka.
" ... Eh dia udah bilang soal perasaannya?" Kudengar samar-samar Ruben berbicara saat aku menyalami orangtuanya
"Iya, udah. Kamu tahu?"
"Iya, dia izin sama aku."
Kakiku terasa berat berjalan setelah usai menyalami mereka semua, aku tidak berniat pergi sebelum memberikan kado selamat pada mereka. Aku naik ke atas panggung hiburan, hendak menyumbangkan suara terbaikku.
"Selamat sore, Saya akan menyumbangkan lagu sebagai ucapan selamat untuk hidup baru dan selamat untuk usia yang baru untuk sahabatku yang duduk di kursi pelaminan dengan wajah yang sangat cantik di sana."
"Padamu, pemilik ... hati yang tak pernah kumiliki."
Cinta bukan hanya tentang harus memiliki, cinta juga perihal ikhlas ketika tahu bahagianya bukan kamu. Jangan berespetasi pada cinta, ia tidak tertebak, dan bukan mainan uji coba.
Saudade, kerinduanku yang mendalam padanya, kukira akan berbalas, tapi kini perkiraan hanya tinggal perkiraan. Kerinduanku ternyata hanya rindu sepihak yang tak pernah berbalas.
Selamat berbahagia dengan pilihanmu. Doaku terus bersamamu.

Komentar
Posting Komentar