Tiga Pagi (Bagian 1) -cerpen

Entah apa yang selalu menggangguku hingga aku selalu terbangun di pukul tiga pagi, aku tidur sekamar dengan adikku yang berusia tujuh tahun. Ia juga kerap mengalami hal yang serupa denganku, bahkan kami sering terbangun bersamaan.

Aneh sekali, selelah atau selarut dan senyenyak apa pun aku tidur, aku akan selalu terbangun di pukul tiga itu. Entahlah apa yang menyebabkan aku begitu.

"Patricia, ayo sarapan, sebentar lagi kau berangkat bekerja bukan?" Aku yang tengah bermalas-malasan di sofa yang berada di ruang televisi merasa berat sekali untuk beranjak.

"Bukannya sekarang hari Minggu, Bu?" Ah, Ibu, selalu saja ia lupa dengan hari, entah apa yang dia pikirkan hingga ia menjadi seperti itu.

"Kenapa tidak bilang dari tadi, hari ini arisan akan dilaksanakan di sini, Patri!" Ia terlihat panik dan buru-buru pergi keluar, sepertinya ia akan belanja.

Baiklah, ini akan menjadi hari Minggu yang melelahkan, lagi. Dan aku sendirian di sini membereskan rumah. Baiklah, terima kasih Tuhan atas hari Minggu yang indah ini.

Aku mulai menepiskan semua rasa malasku, aku mengambil handuk dan bersiap untuk mandi.

Wush ....

Sekelebat bayangan beserta suara langkah berlarian terdengar, "Inta, jangan main petak umpat di rumah!" Tidak ada jawaban, sudahlah, paling dia sudah pergi ke luar rumah.

Tak ... tak ... tak ....

Suara langkah kaki dari lantai atas sungguh berisik, "Inta! Sekali lagi kamu berulah Kakak akan pukul kamu! Lihat saja!"

Hening, tidak ada jawaban dari adik laki-lakiku itu. Akhirnya aku memutuskan untuk langsung mandi saja, agar bisa dengan segera menarik telinga adik manisku itu.

Belum pintu kamar mandi kubuka sepenuhnya, aku mendengar suara televisi yang menyala, dan terdengar suara kartun dari ruang televisi tersebut, dan aku yakin itu pasti Inta dengan siaran televisi favoritnya. Biarkan saja.

Aku masuk ke dalam dan mulai membuka bajuku, setelah selesai aku menyalakan shower dan mulai ritual mandi yang menyebalkan, tidak bisakah ada gerakan lain selain menggosok-gosok? Gosok gigi, gosok tubuh, gosok rambut. Ah, aku benci mandi!

Akhirnya aku selesai mandi dan memakai pakaianku dalam waktu kurang dari lima menit, aku selalu mendapat rekor mandi tercepat, hehe maklum saja aku terlalu malas untuk berlama-lama di kamar mandi ini. Aku keluar sambil menggosok rambutku yang basah.

Tak ... blam ....

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan tertutup dengan sangat keras, tidak mungkin itu Inta, bukan? Perasaanku jadi tidak enak.

"Inta?" panggilku lirih.

"Inta, kamu di sini, kan?" panggilku lagi.

Gedebag ....

Suara buku berjatuhan dari lantai atas, aku buru-buku ke atas menuju gudang, dengan perasaan makin tidak enak. Hari masih terang, menunjukkan pukul sebelas, tapi suasana sangat mencekam secara tiba-tiba. Ibu juga belum terlalu lama pergi, pasti aku akan terjebak lama di sini.

Sesampainya aku di gudang, aku tidak melihat ada Inta atau orang lain, buku-buku lama yang ada di sini pun tidak bergerak dari tempatnya, apa aku terkena skizofernia? Ah, tidak mungkin
skizofernia terjadi cuma sehari ini saja.

Aku kembali ke kamarku dengan langkah terburu-buru, kenapa aku tidak pergi ke luar saja? Daripada harus merasa terancam begini di rumah, tapi dimana Inta?

"Inta?"

"Inta," panggilku berulang-ulang tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Tidak mungkin aku membiarkan Inta sendirian di rumah ini.

Aku mencarinya ke seluruh rumah tapi tak kunjung menemukannya, kemana dia? Ya, Tuhan, aku kalut dan bingung ingin mencarinya kemana, Ibu juga tak kunjung pulang. Inta tidak pernah bermain jauh dari rumah, tapi dimana dia sekarang?

Aku berinisiatif mencarinya ke rumah tetangga, siapa tahu ia tiba-tiba tertarik untuk bermain secara normal dengan anak-anak lain.

Aku berlari menuju rumah terdekat, dan dengan tergesa-gesa mengetuk pintu rumahnya.

"Bu Megan! Bu Megan!" Napasku menderu tak keruan, dan tiba-tiba aku mengalami keringat dingin.

"Iya, sebentar." Akhirnya ada jawaban setelah berkali-kali aku mengetuk pintu.

"Apa Ibu melihat Inta?" Dia pergi entah ke mana, aku mencarinya di rumah, tapi dia tidak ada.

Wajahnya terlihat sendu dan sesekali ia menarik napas perlahan.

"Saya tidak tahu, Patricia." Dengan segera ia menutup pintu rumahnya.

"Atau mungkin Ibu melihat ia lewat tadi?" Aku masih berusaha untuk mendapatkan informasi darinya, tapi ia tidak menjawab.

Setelah melewati hening beberapa menit, aku memutuskan untuk bertanya kepada tetangga yang lain, tetapi mereka semua tidak ada yang melihat Inta. Aduh, apa yang harus aku katakan kepada Ibu nanti.

Aku memutuskan untuk pulang, menepiskan semua rasa takutku pada rumah berhantu itu dan mulai mencari Inta di sekitar rumah, lagi.

Dengan perasaan gundah aku berjalan menyusuri jalanan, memikirkan bagaimana nasibku di rumah itu nanti.

Sesampainya aku di depan rumah, aku ragu untuk membuka pintu. Namun, akhirnya tanpa ragu aku membuka pintu karena mendengar suara Inta yang sedang tertawa di dalam rumah.

"Inta?!" Aku mendapati dirinya tengah menonton televisi dengan ceria.

"Apa?" tanyanya judes. Aku tidak menjawab pertanyaannya dan memilih untuk duduk dan menonton televisi bersamannya.

Ding ... dong ... ding ... dong ....

Sepertinya Ibu sudah pulang. Syukurlah, untungnya Inta sudah ketemu. Aku berjalan ke arah pintu yang tidak terlalu jauh dari ruang televisi dan membukakan pintu untuknya.

"Kenapa Ibu tidak membawa apa-apa?" tanyaku, sambil mataku mencari-cari sesuatu yang mungkin dibawa Ibu.

“Ah, Ibu terlalu lama pergi sepertinya, pasar sangat ramai dan cepat sekali mereka kehabisan barang-barangnya."
Ia tampak kecewa sepertinya, aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.

Ia berhenti sebentar, "Jadi bagaimana, Bu?" sambil membetulkan ikatan rambutnya yang longgar.

"Ibu batalkan saja, semoga ada yang mau menggantikan."

"Jika tidak ada yang mau?"

"Ibu tetap membatalkan." Lalu ia beranjak masuk ke kamarnya, sepertinya ia ingin mengganti pakaiannya.

Aku tiba-tiba teringat kejadian tadi, ingin sekali aku menceritakannya pada Ibu, tapi aku rasa tidak perlu, karena nanti aku takut Ibu menjadi ketakutan.




Waktu terlalu cepat berlalu, malam telah tiba, sekarang masih pukul delapan, Inta sibuk dengan pekerjaan rumahnya yang besok akan dikumpulkannya, Ibu sedang menonton televisi, dan aku sudah lelah menatap handphone-ku yang sedari pagi kumainkan sambil tidak melakukan apa-apa.

Betapa bosannya aku dengan kehidupan ini, ah andai saja aku Tuhan, aku ingin mencoba kehidupan orang lain, dan bertukar jiwa sesaat dengannya. Namun, aku bukan Tuhan, dan sekarang aku mengantuk.

"Bu, aku mau tidur," ucapku sambil beranjak dari sofa yang kutiduri tadi.

"Tidak terlalu cepat?" tanya Ibuku, tapi tatapannya tidak lepas dari televisi.

"Tidak, Bu." Aku pergi ke kamar, dan berhenti sejenak di tempat Inta mengerjakan PR-nya, di dekat tangga menuju lantai atas.

"Inta, nanti kalau kakak sudah tidur, jangan lupa menutup pintu kamar, ya."

Ia mengangguk, dan berkata, "Iya."
Jangan iya, iya aja, ucapku sambil memukul pelan kepalanya.

"Ish! Jangan cari masalah!" ucapnya marah.

"Satu-satunya orang yang suka cari masalah itu kamu, bisa-bisanya berkata tidak sopan pada kakak sendiri."

"Diam kau!" Selesai ia mengucapkan kalimatnya, aku langsung memukul kepalanya dengan keras, dan berlari ke kamar, Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah ke kanak-kanakanku.

Di dalam kamar, aku berusaha untuk terlelap dengan cara menatap jam, saat jarum menunjukkan sekitar pukul sembilan, aku tertidur.

Setelah beberapa lama rasanya aku tertidur, aku mendengar suara Inta seperti sedang berbicara, aku memutuskan untuk mendengarkan, lebih tepatnya menguping apa yang ia katakan.

"Jadi, Ayah tidak mau tinggal di sini?" Ayah? Aku mengintip dari balik selimut, tidak ada seorang pun di sampingnya. Lagi pula Ayah sudah entah di mana rimbanya.

"Inta," bisikku lirih, aku memberanikan diri untuk duduk dan berjalan ke kasurnya. Kami memang satu kamar tapi berbeda ranjang.

"Inta, kamu bicara dengan siapa?" Ia hanya menggeleng.

Aku melihat ke arah jam, seperti dugaanku, pukul tiga pagi. Aku mulai takut dan keringat dingin, tangan dan kakiku gemetar. Aku khawatir, apakah tingkah aneh Inta ada hubungannya dengan pukul 'tiga pagi' ini?

Tak ... tuk ... tak ... tuk ....

Suara langkah berlarian terdengar di lorong depan kamar.

"Inta, itu suara apa?" Ia hanya menggelengkan kepalanya.

"Kamu dengar juga, kan?" tanyaku dengan nada ketakutan, suara langkah berlarian itu belum juga berhenti.

"Inta, kamu tak takut?" Ia hanya diam, tak bergeming.

Aku yang sudah muak dengan rasa takut ini, memberanikan diri untuk membuka pintu, sekedar mengintip. Perlahan-lahan aku berjalan menuju pintu dengan siaga penuh, dan Inta hanya memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.

Setelah aku berada di depan pintu, aku membuka kenopnya secara perlahan dan melihat apa yang sedang berada di baliknya.

Suara itu tetap terdengar, tapi aku tidak bisa menemukan sosok yang menimbulkan suara itu.

Dengan segera aku berlari ke samping Inta, aku sangat panik jika aku bisa melihat diriku, pasti wajahku sudah sangat pucat. Dan sesaat saat aku ingin melihat ke arah Inta, ia sudah tidak ada.

Sontak aku terkejut bukan main. Dengan segenap ketakutan dan keberanianku, aku memutuskan untuk berlari untuk menuju ke kamar Ibu, tidak kupedulikan lagi hantu-hantuan laknat itu, aku ingin mengajak Ibu untuk pindah rumah.

Saat berlari aku ingin sekali berteriak. Namun, seperti ada sesuatu yang menahanku untuk mengeluarkan suaraku. Karena aku tidak lagi memperhatikan langkahku, aku terjatuh dari tangga. Lengan atas dan pergelangan kakiku sepertinya terkilir, aku kesulitan untuk berlari, dan secara tiba-tiba aku mendengar suara berisik. Mulai dari tawa anak kecil, hingga umpatan seorang lelaki dewasa.

Sesampainya aku di kamar Ibu, aku tidak menemukan siapa pun di sana, kemana mereka sepagi ini? Aku mencari keberadaan ponsel untuk menghubungi seseorang.

Tring ... tring ... tring ....

Kenapa jam bekerku berbunyi sepagi ini? Karena begitu penasaran aku terus melanjutkan mencari ponsel, akhirnya berhasil kutemukan di dalam laci meja Ibu.

Pukul enam? Aku bingung, apa sudah selama itu aku berkutat dengan ketakutanku itu? Aku memutuskan untuk menelpon salah satu temanku untuk izin cuti karena cedera ringanku tadi, dan setelah itu aku menghubungi taksi untuk pergi ke rumah sakit.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Harapan (Bagian 2)

Tiga Pagi (Bagian 2) -cerpen

Saudade (Bagian 3) -Cerpen