Tentang Harapan (Bagian 2)

Aku masih ingat dengan jelas, sangat, sangat. Emosimu yang mulai berganti kehangatan. Aku masih ingat, Bu.

"Saudara, diputuskan bersalah, dan dihukum 15 tahun penjara."

Suara ketuk palu keadilan berbunyi tiga kali, terdengar nyaring dan memenuhi seluruh ruang sidang. Tampak seorang laki-laki menangis, entah dia menyesal dengan perbuatannya, atau menangisi hidupnya yang akan terbuang dari masyarakat selama 15 tahun ke depan.

Aku masih ingat, Bu. Dulu, kau sering memukuliku, dengan tatapan benci, yang aku pikir kau memarahiku karena rasa sayangmu.

"Terima kasih, Bu. Akhirnya pembunuh anak saya menerima semuanya dengan setimpal." Seorang ibu paruh baya menangis haru, seolah ia mendapati anaknya yang telah meninggal, hidup kembali dan tengah tersenyum padanya.

Tapi, aku bersyukur. Kebodohan dan kepolosanku kala itu, telah membawaku berjalan tertatih pada mimpiku.

Ibu, maafkan aku telah lahir. Ini bukan keinginanku, bukan mauku lahir menjadi seorang anak yang disebut orang 'haram', bukan mauku lahir dari rahimmu.

Persidangan yang panjang, mengantarkanku pada lelah dan berinisiatif untuk pulang.

"Ah, hujan." Tanganku menengadah, merasakan rintik hujan.

"Bu, mau ikut dengan Saya?" tanya Ibu paruh baya yang berterimakasih padaku tadi.

"Ah, tidak. Saya sudah ada janji, lain kali saja, Bu," tolakku ramah.

Ah, kejadian ini mengingatkanku pada 15 tahun yang lalu, saat usiaku masih 12 tahun saat itu.

Hujan turun deras sejak pagi, aku terduduk di pojokan toko dan kedinginan merambat tulang-tulangku. Saat perjalanan pulang, seorang pria menawariku tumpangan. Mirip seperti yang dilakukan oleh Ibu tadi.

"Bodohnya aku mengira ia seorang pencuri organ." Aku tertawa geli mengingat kejadian itu.

"Ayo, Velas." Ah, itu dia, yang ditunggu-tunggu sejak tadi. Aku memasuki mobil dan duduk di samping kursi pengemudi, kursinya.

"Bagaimana harimu?" tanyanya, aku tersenyum sekilas sambil memandang ke arahnya.

"Luar biasa baik, si korban telah mendapat keadilannya."

Hening.

Sedetik berlalu ia membuka kembali topik, "Kamu ingat rumah warna kuning, nggak?"

Tawaku dan tawanya meledak, selalu saja ketika ramai menjelma hening, ia mengingatkanku pada kejadian 15 tahun lalu itu.

"Bisa-bisanya kamu kira aku pencuri organ, tapi memang benar sih, kalau dipikir-pikir." Ia tersenyum licik, matanya melirik.

"Karena hatimu udah kucuri."

Tawa kami kembali mengisi kesunyian mobil ini, dingin kala hujan sudah berhenti menggangguku sejak 15 tahun lalu.

Inilah dia, Felix. Pria yang kutolak tumpangannya kala itu, dan saat ini aku malah menerima tawarannya untuk berlayar satu kapal dengannya, dan menjadi nahkodaku.

Terkadang sangat lucu melihat takdir mempermainkan tiap insan. Seorang yang kita pikir takkan ada gunanya, bahkan tidak akan memengaruhi kehidupan kita, justru malah dia yang kelak menjadi salah satu bagian dari dirimu. Itulah sebabnya jangan remeh memandang orang lain, sebab kita tidak tahu bagaimana permainan takdir, dan bagaimana perputaran roda.

Jalanan yang kami lalui tampak asing, sepertinya Felix tampaknya ingin mengajakku pergi, "Kita kemana?" tanyaku bingung, sebab ini diluar kebiasaannya. Ia tidak pernah mengajakku keluar setelah bekerja.

"Nanti deh. Kamu liat sendiri aja." Aku mengerutkan dahi, "Oke deh."

Hening kembali menyelimuti kendaraan ini. Hujan juga sudah berhenti turun, membuat udara sunyi makin terasa.

Mobil yang dikendarai Felix berhenti di sebuah rumah, rumah yang lumayan bagus. Tampak tidak berpenghuni, tidak mungkin ini rumah baru kami, karena kami baru saja membeli rumah setahun yang lalu.

Kami turun, dan aku masih kebingunan, "Ini rumah siapa?" Ia berjalan mendahului dan mengetuk pintu.

"Sebentar," teriak seseorang dari dalam.

Kriet ....

Pintu terbuka, tampak seorang pria tua yang tak asing. Garis muka yang akan selalu aku kenali. Tubuhku mematung, jantungku berdebar begitu kencang, lelaki kasar yang dulu datang ke rumah hanya untuk memukuli Ibu, karena tidak bisa memberikan uang padanya, padahal saat itu mereka telah bercerai. Ia, juga telah menyiksaku dulu, saat usiaku masih tiga tahun. Aku selalu ingat raut wajah itu.

Ia, penyebab dulu Ibu selalu menyiksaku, sebab Ibu tidak bisa kehilangannya. Mengapa kembali hadir? Aku bersyukur ia pergi dari kehidupan kami dulu, tapi Ibu tidak bisa terima itu, ia melampiaskannya padaku. Memang Ibu yang salah saat itu, tapi itu karena sikapnya juga. Jika saja ia lebih bisa menghargai perasaan Ibu dengan pulang lebih sering ke rumah, jika saja ia bisa memenuhi tanggung jawabnya dengan menafkahi Ibu, tidak akan mungkin Ibu menjadi seorang kupu-kupu malam, dan melahirkan aku. Si anak yang tak tahu siapa ayahnya.

Ia berjalan mendekatiku, wajahnya tampak berat, ia melangkah pelan-pelan. Aku bergerak mundur perlahan.

Pipiku menghangat, cairan asin menyelinap masuk di antara bibirku. Tanganku bergetar hebat. Ternyata aku tidak pernah baik-baik saja. Ternyata aku belum bisa berdamai dengan masa laluku, ternyata selama ini ... aku hanya lari dari kenyataan.

"Nak," suaranya pelan menyapaku, aku memilih tidak menjawab, rasa sesak di dada juga membuatku memilih demikian.

"Maafkan, ya ...." Rasanya aku ingin tertawa sekarang, ia hadir merobek luka dengan sengaja, lalu berkata 'maaf', dia pikir luka itu langsung sembuh?

"Maafkan Ayahmu ini, ya?" Ia bersujud mencium kakiku, tubuhku masih mematung, tidak bisa berbuat apa pun.

"Pak ... Pak ...." Felix membantunya berdiri, raut mukanya sendu. Aku sedih, aku pikir aku sudah memaafkannya, aku kira aku sudah melupakan kesalahannya.

Hening, Felix membantunya duduk di depan teras rumah, aku masih tetap diam di tempat.

"Ve, apa yang kamu tunggu."

Mataku terarah padanya, entahlah tampak semenyedihkan apa aku saat ini. Felix hanya balas menatapku, tidak ada sepatah kata pun diucapkannya.

Hening menyelimuti kami beberapa saat, hanya tangis Ayah yang berhasil memecah hening sesekali.

"Selamat ya, Nak. Ayah dengar kamu sudah resmi menjadi seorang hakim. Adili orang-orang seperti Ayah ini, ya. Jangan biarkan orang-orang sepertiku merusak keluarganya bahkan menghancurkan mental anaknya."

"Yah ...." Tenggorokanku sesak, sulit rasanya untuk berbicara, seperti ada biji salak yang sedang kau telan, tapi tersangkut.

"Iya, Nak."

"Ayah tahu bagaimana hancurnya aku dulu? Ayah tahu gimana rasanya hidup menjadi seorang anak yang tidak diinginkan, tidak ada yang mendukung, tidak ada yang peduli, rasanya saat itu mati pun aku tidak akan ada yang menangis." Ia hanya diam, entah apa yang ada di benaknya saat ini.

Ia menangis, memukuli dirinya seperti yang dilakukan Ibu kala itu.

"Velas, bunuh Ayah! Bunuh Ayah Velas!" Ia menarik tanganku, menangis sejadinya, Ayahku yang lemah. Mengapa dulu kau merasa hebat, merasa bangga melayangkan pukulanmu pada Ibu, terutama aku.

Aku tidak tahan lagi, "Yah ... udah, jangan nangis lagi," ujarku sambil menariknya ke pelukanku.

"Velas, Ayahmu ini tidak pernah berguna." Nadanya begitu sendu, semua sesakku perlahan luruh, pergi entah ke mana. Inikah juga harapanku?

Terima kasih, Tuhan. Tanpa kuminta Kau menyediakan, tanpaku harus berteriak Kau mendengarkan, tanpaku harus berkata Engkau mengerti.

"Akhirnya baikan," ledek Felix sambil tersenyum, ia mengelus perlahan kepalaku.

"Ayo masuk, Nak. Kita enggak sadar jadi tontonan tetangga."

"Tapi Ayah enggak punya tetangga." Melihat posisi rumah yang hanya berdiri sendiri, tidak ada rumah lain selain ini, tampaknya wajar aku berkata demikian.

"Benar juga, ya." Ia tertawa, lalu merangkul kami masuk ke dalam rumah.

Semua terasa melegakan, melihat Ayah menertawakan hal aneh bersama Felix, semua melegakan ketika hati ikhlas memaafkan. Benar-benar ikhlas, bukan berpura-pura memaafkan.

Entah kenapa aku selalu menaruh hati pada pelangi, sesaat dan langka, tetapi itu yang membuat hadirnya dinanti-nanti dan jadi lebih mengagumkan.

Wahai penduduk langit yang sore itu ternyata tidak mengabaikanku, terima kasih.

Tok ... tok ... tok ....

Hening sejenak dan kami saling menatap, "Sebentar ya, Ayah buka pintu dulu." Belum ia beranjak, aku lebih dulu berdiri, "Biar Velas aja, Yah." Ia mengangguk.

Aku berjalan menuju pintu, dan tanpa basa-basi langsung membukanya.

"Velas?"

Apa ini rencana Felix? Mengapa tiba-tiba Ibu dan Kak Lewis ada di sini.

"Kalian ...." Aku benar-benar terkejut.

"Ibu dan Kak Lewis ngapain?"

"Kamu sendiri ngapain?" tanya Kak Lewis.

"Kita enggak dibolehin masuk?" tanya Ibu. Aku bingung ingin menjawab apa.

"Ah, lama kamu." Kak Lewis menyelinap masuk sambil menarik tangan Ibu.

Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Bagaimana nanti Ibu akan menghadapi Ayah?

Setelah beberapa saat mematung, akhirnya aku memutuskan untuk melihat ke dalam, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya di dalam saat ini.

Klek ....

"Kenapa tiba-tiba mati lampu? Kemana semua orang?"

"Felix?" Aku meraba masuk ke dalam, gelap sekali, tidak terlihat apa pun, hanya sinar bulan.

"Selamat ulang tahun, Ibu Hakim!" seru mereka serempak bersamaan dengan nyalanya lampu, beserta ledakan dari party popper menghiasi ruangan.

Aku menangis, menangis, aku meringkuk memeluk tubuhku, damai sekali rasanya melihat mereka begitu.

"Jangan nangis gitu Buk Hakim." Kak Lewis mengusap pelan pipiku.

"Ini hadiah paling indah yang enggak pernah Velas bayangkan, Kak. Akhirnya Velas merasa enggak butuh apa-apa lagi."

Mereka memelukku, pelukan hangat tangis haru memenuhi ruangan yang dingin.

Aku belajar, awal buruk tidak akan selalu menjadi akhir buruk dan awal baik belum tentu akan berakhir baik. Terima kasih Tuhan, terima kasih penduduk langit. Terima kasih telah mendengarkan dan tidak pernah mengabaikan doaku.

Terima kasih harapan, terima kasih telah menemaniku hingga aku punya alasan untuk tetap hidup.

Ini belum berakhir, kebahagiaan belum berhenti di sini.

Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Pagi (Bagian 2) -cerpen

Saudade (Bagian 3) -Cerpen