Tiga Pagi (Bagian 2) -cerpen

Saat aku membuka mata, secara ajaib ada dua orang teman sekantorku muncul di hadapanku.

"Gimana keadaanmu saat ini, Pat?" tanya seorang teman wanitaku yang berambut pendek, aku akrab menyapanya sebagai Louise.

"Sudah lebih mendingan," ucapku sekenanya pada temanku itu.

"Pat, maaf ya. Kami dengan lancang menerobos masuk, karena berkali-kali kami ketuk pintu rumahmu, tidak kamu buka-buka," ujar seorang temanku yang lainnya yang berambut sepunggung, aku sering memanggilnya Rose.

"Tak apa."

"Tugasku selesai," seru seorang lagi yang baru saja datang, ternyata itu adalah Denice, si wanita berambut blonde sebahu.

"Apa yang selesai, Nice?" tanyaku tak mengerti.

Ia tersenyum dan dengan semangat menjawab pertanyaanku, "Membereskan rumahmu ini. Aku tidak tahan melihatnya kotor dan sangat berdebu, jadi aku berinisiatif membersihkannya, tak apa 'kan?" ujarnya dengan semangat.

"Iya, lagi pula setiap hari Ibu terus membersihkan rumah kok, tidak mungkin dia biarkan rumah ini kotor."

"Oh." Dengan serempak mereka berkata dan saling bertatap muka bingung.

Aku juga jadi bingung dibuatnya, "Kenapa kalian? Apa yang salah?" tanyaku dengan sangat penasaran.

"Tidak," seru Rose lalu duduk di sampingku.

"Em, jadi mana Ibumu, Pat?" tanya Denice yang kemudian duduk di ranjang Inta.

"Kau tidak bertemu dengannya, Nice? Bukankah tadi kau membersihkan rumah ini?"

Ia mencoba mengingat-ngingat, telunjuknya berada di bibirnya yang sedang manyun, "Tidak ada siapa-siapa selain kau, Pat." Akhirnya ia menjawab setelah beberapa waktu berpikir.

"Apa Ibumu sedang pergi?" Aku sangat ingin bertemu dengannya. Louise akhirnya angkat suara , ia tetap berdiri di dekat pintu, tetapi tubuhnya bersandar ke tembok.

"Aku tidak tahu, ia tidak izin denganku." Seingatku begitu, saat aku bangun hanya mereka yang kulihat, ya benar.

"Ah, jadi sekarang kau sedang sendirian?" tanyanya lagi.

"Aku rasa tidak. Apa kau tidak melihat Inta di sekitar rumah?" tanyaku lagi kepada wanita berambut blonde itu. Ia hanya menggeleng tidak berniat untuk menjawab dengan suaranya.

"Inta itu adikmu bukan?" Denice mengambil foto yang ada di meja, dekat dengan ranjang Inta yang sedang ia duduki.

"Iya. Tidak mungkin kau lupa, iya 'kan." Ia asik menatap foto yang sedang dipegangnya, karena penasaran Rose beranjak dari tempatku dan duduk di samping Denice, Louise juga melakukan hal yang sama.

"Jadi dimana Inta sekarang?" tanya Rose sambil menatap ke arahku menunggu jawaban.

Ah, aku rasa dia di sini, sedang bermain atau mungkin menonton siaran televisi kesukaannya." Ikut dengan Ibu pergi itu diluar kebiasaannya.

Mereka bertiga serempak mengangguk, entah kenapa mereka, bukankah mereka dulu sering bermain ke sini? Kenapa tiba-tiba lupa dengan Ibu dan Inta? Aku rasa terkena penyakit alzheimer sejak dini.
Aku jadi terpikir kejadian pukul tiga itu, apa aku bertanya pada mereka saja mengenai solusinya?

“Aku sering terbangun di pukul tiga pagi setiap hari, dan kerap terjadi hal-hal aneh saat itu. Mulai dari suara langkah kaki, hingga teriakan. Itu sungguh menggangguku." Mereka menatapku, menungguku menyelesaikan ceritaku.

"Apa kalian mau membantuku mencari rumah lain?" Dengan harap-harap cemas aku menunggu jawaban mereka.

"Begini, Pat. Ini adalah rumahmu yang kedua belas yang kau tinggali, sejak dua tahun terakhir. Apa kau yakin mau pindah lagi?" tanya Rose dengan tatapan intens.

"Rumah ini berhantu. Aku takut tinggal di sini." Mengingat kejadian tiga hari yang lalu membuatku ngeri, hingga dua hari aku enggan pulang dari rumah sakit.

"Tapi kan, Ibumu dan Inta ada di sisimu." Denice berkata seraya meletakkan foto Inta kembali ke tempatnya.

"Iya, kau benar."

"Ah, aku tidak tahan lagi!" Tiba-tiba Louise berdiri, dan mengacak-ngacak rambutnya, terlihat Rose dan Denice menenangkannya.

"Kau tahu Patricia, aku sudah muak berpura-pura. Sekarang di mana Ibumu?!" bentaknya tepat di depan wajahku.

"Aku rasa kau tahu kalau mereka sedang ke luar." Ia kembali mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya. Ia terlihat frustasi.

"Jangan, Louise, tenang." Rose menenangkannya, dan menyuruhnya untuk duduk.

Aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi, apa yang dimuakkan oleh Louise, apa yang dilarang oleh Rose. Mereka kenapa?

"Kalian kenapa?" tanyaku ragu, tetapi malah mendapat tatapan mendeskriminasi dari Louise.

"Satu-satunya orang yang harus ditanya kenapa adalah kau, Nona Patri! Apa kau tidak lelah berpura-pura? Pura-pura tidak pernah kehilangan apa pun, pura-pura tidak pernah sendirian, apa kau tidak lelah? Apa memang kau tidak pernah lelah, Patricia? Kenapa harus menyimpannya sendirian dan berpura-pura hebat pada dunia?"

"Apa maksudmu, Louise?"

"Oh, Tuhan. Sekarang kau berpura-pura bodoh, ya?" Ia tertawa, terdengar sangat menjengkelkan, tetapi juga terdengar menyedihkan di saat yang bersamaan.

"Louise, cukup!" bentak Denice.

"Kenapa kau membelanya?" Apa kau tidak lelah dengan permainannya? Sampai kapan kau mau menutup mata? Ia mencecar Denice.

"Tapi, aku rasa yang dikatakan Louise ada benarnya, Nice." Terdengar Rose membela argumen Louise, dan Denice terlihat sedikit kecewa.

"Tidak kau dengar Denice? Kenapa kita harus membiarkannya jika kita bisa menolongnya." Dengan bangganya dia menjelaskan pada Denice tujuannya.

"Tapi caramu tadi salah, kau bukannya membantunya tapi malah menakutinya. Lihat wajahnya bingung." Rose menunjukku dan balik menyerang argumen Louise.

"Iya, aku tahu. Jadi kita mulai dari mana?"

Sebenarnya mereka kenapa? Sebentar mendesakku, sebentar membelaku. Mereka kembali duduk tenang di kasur Inta, dan saling sikut-menyikut.

"Kalian sebenarnya kenapa? Jelaskan, jangan buat aku bingung seperti ini." Apa yang terjadi? Mereka seperti saling lempar tanggung jawab untuk berbicara.

"Jam berapa sekarang? tanya Denice memulai.

"Memangnya kenapa?" balas tanyaku.

"Aku ada acara jam satu nanti." Mendengarnya berkata begitu refleks aku melirik ke arah jam yang ada di dinding kamarku itu.

"Denice, aku rasa kau sudah terlambat, sekarang pukul setengah tiga ...."

"Setengah tiga dari mana, hah!?" bentak Louise yang membuatku terkejut.

"Jelas-jelas jammu menunjukkan pukul tiga, dan akan tetap terus pukul tiga, kecuali kau menggantinya dengan jam baru." Rose dan Denice menghembuskan napasnya kasar.

Louise beranjak mengambil jam yang ada di dinding itu, "Lihat, Pat! Lihat! Jamnya mati."

"Begini, Pat. Aku rasa kau hanya kelelahan, kau bukannya terbangun pukul tiga setiap hari. Kau merasa begitu karena memang jamnya yang mati."

"Mati?" Bagaimana bisa aku tidak sadar ini mati. Jam ini bergerak dan aku yakin itu.

"Iya, dan mungkin ini yang menjadi penyebabmu sering terlambat bekerja, setiap hari." Rose menimpali dengan penekanan di kata 'setiap hari'.

"Aku selalu datang tepat waktu, kok. Dan Ibu selalu membangunkanku saat aku terlalu lama bangun." Jelas mereka salah, aku tidak pernah terlambat ke mana pun. Bukan berarti karena mereka selalu datang lebih awal itu artinya aku yang terlambat.

"Terserahmu saja, satu kantor jelas tahu kalau kau sering terlambat," kata Louise membela pernyataan Rose. Entah dendam apa yang disimpan Louise padaku.

"Jadi bangun setiap pukul tiga itu hanya halusinasiku saja?" Aku masih tidak bisa percaya dengan yang mereka katakan, terlalu nyata bagiku untuk percaya itu halusinasi. Lalu mereka hanya mengangguk dan tak ada niat untuk bersuara.

"Jadi maksud kalian aku sudah gila?" tanyaku dengan nada mulai histeris.

Bagaimana bisa semua cuma halusinasi, aku benar-benar melihat jam itu bergerak, setiap hari! Demi Tuhan!

"Ah iya, benar juga. Bagaimana jika jam itu baru saja rusak, tapi sebelum kalian datang jam ini baik-baik saja?" Aku rasa jam itu kebetulan baru saja mati.

"Pat, kami sering bermain ke sini untuk sekedar menjengukmu, melihat keadaanmu dan membersihkan rumahmu. Seluk-beluk rumah ini sudah kami tahu.

"Kau sering bercerita tentang jam tiga pagi ini sebelumnya.
Dan setiap kau meminta pindah, kami yang selalu mencarikan rumah untukmu. Aku dan yang lainnya hanya tak sampai hati menyakitimu, Pat," ujar Denice hati-hati seperti tak ingin menyinggungku. Ia memang tidak menyinggungku, aku cuma merasa seperti tidak terima.

"Aku tahu, aku tidak lupa. Tapi kenapa kalian tidak pernah mengingatkan aku? Hah?" Aku merasa seperti orang gila saat ini! Aku merasa hilang waras, jantungku mulai berdebar kencang, keringat dingin menjalari tubuhku, dan aku rasa bibirku memucat saat ini. Aku merasa jam itu benar-benar berdetak, tak mungkin aku salah lihat setiap hari.

"Kau mulai asing sejak dua tahun yang lalu, Pat." Rose berjalan ke arahku, ia duduk di sampingku dan mulai merangkulku. Sepertinya ia ingin mengalirkan energi positifnya padaku.

"Kamu adalah manusia paling hebat, Pat. Kamu orang yang kuat, Pat." Rose lalu memelukku. Aku masih bingung dengan apa yang mereka lakukan.

"Kalian tadi tidak menjawab pertanyaanku, apa aku sudah gila?! Jawab, apa maksud kalian aku sudah gila, hah?! Kalian terlalu bertele-tele dan membuatku bingung."

"Pat, kami tidak bilang kau gila. Kami hanya merasa kau ...."

"Aku apa, Denice?! Ayolah, aku memang gila, bukan? Hanya orang gila yang bisa percaya kalau jam mati itu hidup. Aku tidak lagi bisa mengendalikan diriku, sedari tadi aku berusaha bersabar mengikuti alur mereka."

"Iya, kau memang gila!"

Jleb

Kata-kata Louise berhasil menembus ulu hatiku. Aku berkata itu bukan karena aku ingin disebut gila, aku cuma ingin diyakinkan kalau aku tidak kenapa-kenapa.

"Louise! Kau ini kenapa!?" Terlambat jika ingin membelaku, Rose. Aku sudah terlanjur sakit.

Kriet ....

"Eh, Ibu." Syukurlah Ibu dan Inta sudah pulang, aku jadi bisa mengusir mereka.

"Hm, karena Ibu dan Inta sudah pulang, kalian boleh kok kembali ke rumah." Mereka hanya saling bertatapan bingung, baguslah kalau mereka mengerti kalau aku mengusirnya.

“Ibu Dan Inta? Apa kau bercanda, Pat!?" bantah Louise, sambil terus melirik ke segala arah.

"Apa kau buta, Louise? Jelas-jelas Ibu dan Inta tadi sedang berada dekat pintu."

"Sudahlah, Louise. Patricia benar, kau yang buta." Hanya Rose dan Denice yang mampu menenangkanku, hanya mereka berdua yang bisa menjaga perasaanku, tidak men*jugde*ku.

Tuhan, apa yang salah denganku? Apa ini karma karena aku membenci Ayahku yang aku sendiri tidak tahu karena apa aku membencinya? Tuhan, jika itu mampu membuat hidupku tenang, maka aku memaafkannya.

"Aku merasa sangat bersalah ingin menyampaikan ini, Pat. Oh, tapi sebelumnya apa kau ingat waktu kita jalan-jalan ke jembatan layang itu?" ujar Rose tiba-tiba padaku, dan ia juga mengelus pelan pundakku.

"Jembatan layang? Sepertinya aku ingat. Oh, waktu liburan Natal dua tahun lalu, bukan? Ya aku ingat." Rose lalu mengangguk mengerti dengan apa yang kukatakan

"Apa saja yang kau ingat saat itu? Em, maksudku, apa saja yang kita lakukan saat itu." Denice menimpali.

“Kita berempat jalan-jalan menuju perayaan Natal yang ada di kota, bukan?"

"Oh ayolah, Rose, Denice, kalian terlalu banyak basa-basi. Patri, Ibumu, Inta dan Ayahmu sudah meninggal dua tahun lalu, dalam tragedi tabrakan beruntun yang terjadi di jembatan layang itu. Bagaimana kau bisa lupa, Pat?"

Kecelakaan? Meninggal?

"Kenapa dengan santai kau bisa mengatakan itu, hah! Louise aku pikir kau temanku, kukira kau ...."

"Louise!" bentak Denice dan Rose bersamaan.

"Ibu, Ayah, Inta sudah meninggal?" Aku tidak bisa lagi membentung air mataku, aku menangis sejadi-jadinya, aku berteriak, melempar foto Inta, melempar apa pun yang bisa kulempar.

"Apa? Dia harus belajar menerima, bukan? Lebih baik ia disakiti kenyataan daripada terus tidur nyaman dalam halusinasinya."

"Bukan begitu caranya, Louise!"

"Ibu!"

"Inta." Aku berteriak sekeras-kerasnya, aku berlari mencari mereka ke segala penjuru rumah, tadi lihat mereka pulang.

"Oh, Tuhan ... dimana mereka, kenapa Kau jahat Tuhan! Kenapa kau biarkan aku sendirian di dunia tak berpemilik ini."

Aku menjambaki rambutku, frustasi dengan semua yang dikatakan oleh Louise.

"Pat! Kamu tidak apa-apa?"

"Siapa yang bisa baik-baik saja setelah dihempaskan berkali-kali, Denice!"

"Louise!" Aku menarik kasar kerah bajunya dan mendekatkannya wajahnya ke wajahku, ia enggan menengokku.

"Jika memang seluruh keluargaku sudah meninggal, ayo tunjukkan kuburannya! Jangan cuma omong kosong!"

Pikiranku sudah terbang ke mana-mana. Kenapa semuanya bisa begini. Tuhan, kau dimana saat ini, tolong aku.

"Baiklah, ayo, kuburannya tidak jauh dari sini. Kita cukup berjalan kaki."

"Sebentar, aku mau mengambil sesuatu."

Tuhan, ini tidak nyata bukan. Mereka bohong 'kan, Tuhan kembalikan mereka! Aku ... tidak sekuat orang lain, aku ... bukan orang lain yang tahan dengan kehilangan.

"Kita sampai,"

Hancur, seluruh tubuhku dihancurkan. "Kalian tahu apa yang rasakan? Aku merasakan akhir."

Aku berjongkok di dekat nisan mereka, mengelus pelan batunya, dan merasakan kehadiran mereka. "Ayah, aku tidak lagi membencimu. Hidup dengan memaafkan akan jauh lebih mudah, katanya. Jadi aku memaafkanmu."

Entah mahakarya siapa yang mampu menciptakan hebatnya halusinasiku tentang Ibu dan Inta hingga bisa memperpanjang umurku selama dua tahun, menguatkan aku. Aku sudah ingat semuanya. Dengan sangat jelas.

"Aku ingat semuanya, saat itu aku bersama kalian, pergi ke perayaan Natal yang ada di kota. Ibu, Ayah, dan Inta hendak pulang dari pusat perbelanjaan.

"Aku ingat kabarnya, Ayahku mabuk dan menjadi penyebab kecelakaan beruntun itu, bukan? Ah, kenapa aku bisa lupa, kenapa pula aku tidak ikut dengan mereka? Kenapa aku malah memilih ikut dengan kalian?!"

Hening, tak ada yang ingin angkat suara.

"Ibu, Inta, aku ikut kalian."

"Patricia, apa yang kau pikirkan!"

Dor ... dor ... dor ....

Terdengar tiga kali bunyi tembakan, dan itu cukup untuk mengambil nyawaku. Terima kasih, Tuhan untuk dua tahun perpanjangan umurku.

Aku melihat Rose dan Denice menangisiku dan berteriak, tapi aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Dan Louise, ia hanya mematung tapi air matanya tetap mengalir.

Louise benar, lebih baik hidup dalam pahitnya kenyataan, daripada mati dalam halusinasi. Terima kasih Louise, ini bukan salahmu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Harapan (Bagian 2)

Saudade (Bagian 3) -Cerpen