Saudade (Bagian 2) -Cerpen

Bus yang kunaiki melaju dengan kecepatan sedang menuju ke kota Pekanbaru, kota yang ditinggali oleh Monis saat ini.

Huft ....

Tidak pernahkah Monis sadar? Ada perasaan yang ia tinggalkan di kota Medan, perasaan yang kini mencari pengisinya.

Perjalanan menuju kota Pekanbaru terasa sangat panjang. Entah jarak yang terasa sangat jauh, atau mungkin rindu yang tak sabar bertatap temu.

Aku tidak bisa tidur, pandanganku hanya terarah pada panjangnya rerumputan di pinggir jalan, dan pengemudi sepeda motor dan mobil yang lalu-lalang.

Kenapa tidak dari dulu saja aku begini, aku yang bodoh malah duduk diam menunggu dicari, padahal aku lelaki, aku yang harusnya berjuang lebih keras.

Monis tidak kuberitahu akan kedatanganku. Alamatnya kuminta sejak seminggu yang lalu sebelum keberangkatanku ini. Setelah mendapat alamatnya itu, rasanya aku langsung ingin terbang ke sana, memeluknya erat.

Ibu benar, hanya temu obat rindu. Sesering apa pun video call dan telponan, tidak akan pernah mengobati rindu yang tengah tumbuh subur, yang ada malah memberi pupuk pada rindu agar terasa makin menyiksa.

Ah, teman wanita pertama yang mampu membuat duniaku beralih padanya.

Satu malam terlewati, artinya sebentar lagi aku akan sampai di sana. Mendebarkan sekali rasanya, aku memilih tidur untuk tidur agar jarak terasa semakin singkat.



"Turun! Turun! Turun sewa!" teriak kondektur bus sembari membangunkan penumpang. Orang-orang turun dengan berbondong-bondong, aku melihat ada yang disambut oleh seorang wanita yang mungkin adalah kekasihnya, ada yang disambut oleh keluarganya.

Aku membayangkan di bawah, Monis sedang menungguku untuk menyambutku, tapi tidak mungkin bukan? Ia bahkan tidak tahu kedatanganku.

Aku duduk sejenak di loket bus tersebut, memesan secangkir kopi untuk menghangatkan diri dari dinginnya pagi, dan membeli beberapa gorengan untuk mengganjal rasa lapar.

Loket yang tadinya ramai, perlahan mulai sepi, dan akhirnya tersisa aku sendirian.

"Nak, mau kemana?" ujar seorang Pak Tua yang membuatku sedikit terkejut.

"Hm, ini, saya mau pergi ke Panam, Pak. Tepatnya ke alamat ini." Aku memperlihatkan secarik kertas yang sudah kutulis alamat Monis, takut-takut nanti pesan yang dikirimnya terhapus atau tiba-tiba hilang.

"Mau naik sama, Bapak?" ujar Pak Tua tersebut.

"Oh, Bapak juga tukang ojek dekat sini?"

"Iya, Nak. Ya, semenjak ada ojek online dan tukang taksi yang nimbrung di sini, bapak jadi jarang dapat kerjaan." Raut wajahnya tampak sedikit.

"Kenapa Bapak 'gak jadi tukang ojek online aja?" Ia menghela napasnya kasar.

"Bukannya Bapak 'gak pernah coba, pernah. Ya, gitu, penyakit orang tua. Bapak 'gak ngerti sama koordinatnya, kadang malah Bapak yang nyasar gara-gara petanya. Bapak sering banget kayak gitu, jadi ya jarang dapat rejeki karena dibatalin sama pelanggannya.

"Handphone-nya juga jadi kendala buat Bapak, itu hp-nya masih nyicil, gara-gara masalah Bapak itu jadi susah bayarnya. Boro-boro bayar, buat makan diri sendiri aja kadang cuma gorengan. Makanya Bapak milih jadi tukang ojek biasa aja."

Aku tercenung mendengarnya. Bingung ingin menjawab seperti apa, tidak mungkin hanya, 'sabar ya, Pak'. Aku juga tidak berani mengungkit tentang keluarga, agama dan masalah pribadinya, tidak sopan. Aku hanya orang asing yang tidak perlu tahu masalah pribadinya, kecuali ia sendiri yang berinisiatif memberitahukan.

"Bapak sudah sarapan? Kalau belum pesan aja, Pak." Hanya ide itu yang tercetus dari pikiranku.

"Sudah, Nak. Terima kasih tawarannya ... Kita berangkat aja ya?" Aku mengangguk sebagai jawaban.

Ia hendak mengangkat barang-barangku, tapi aku buru-buru mencegahnya. Tidak mungkin anak muda membiarkan orangtua kesusahan.

Di perjalanan, hanya hening yang menemani. Aku berinisiatif untuk memecah hening, tapi masih mencari topik yang pas.

"Pak? Berapa lama ke sana?" tanyaku padanya yang berada di boncengan. Ya, aku yang mengendarai sepeda motornya.

"Lumayanlah, Nak. Sekitar setengah jam, kalau kecepatannya segini." Aku mengangguk, aku tidak berani membawa sepeda motornya dengan kecepatan maksimum, aku takut motornya rusak, jika motornya kurusak artinya aku mematahkan pintu rejekinya.

Hening kembali menyelimuti. Temperatur udara lumayan dingin, hingga mampu menimbulkan embun, jarak pandang pun jadinya tidak terlalu jauh.

"Pak, rasanya jatuh cinta itu gimana, ya?" Hanya pertanyaan asal itu yang bisa kutanyakan.

"Wah, Bapak kurang paham, cinta Bapak udah lama mati. Cuma yang membuat kita tahu kalau kita menyayangi seseorang adalah saat kita menolak kepergiannya. Rasanya ketika ia tidak ada, setengah jiwa kita mati. Yah, itu yang Bapak rasakan saat ini.

"Dulu sewaktu Bapak dan alm. Ibu masih pacaran, setiap Bapak mengantarkan ia pulang, dan tubuhnya menghilang di balik tembok, setengah jiwa bapak rasanya tertinggal di rumah itu, rumah yang ia tinggali.

"Dan saat ia menghembuskan napas terakhirnya, cinta itu Bapak tinggalkan di pusaranya, cinta Bapak cuma miliknya. Makanya, cinta Bapak sudah lama mati, yang tersisa cuma kerinduan dan kehilangan."

Begitu tulus cintanya untuk istrinya. "Kamu lagi jatuh cinta, ya?" tebaknya tiba-tiba.

"Enggak kok, Pak. Cuma penasaran aja apa itu cinta."

Akibat perbincangan menarik dengan Pak Tua itu, perjalanan akhirnya terasa lebih dekat dan cepat.

"Terima kasih ya, Pak," ujarku dan mengulurkan tangan kananku yang berisi uang untuk memberi ongkos kepada Bapak Tua itu.

"Eh, lebihnya banyak ini."

"Pas kok, Pak. Itu sama bayar ilmu yang Bapak sampaikan sama Saya tadi." Aku tahu Bapak ini belum sarapan, dari tatap wajahnya ketika aku menyesap kopi dan memakan gorengan. Mulutnya bisa berbohong, tapi matanya tidak. Mata adalah cerminan perasaan, mata tidak bisa berbohong.

"Ya sudah, terima kasih banyak ya, Nak." Aku hanya mengangguk dan ia berbalik pergi.

Di sinilah aku sekarang, berdiri di depan rumahnya mengumpulkan sedikit keberanian hanya untuk sekedar mengetuk pintu.

Klek ....

Ya Tuhan, aku begitu terkejut ketika pintu itu tiba-tiba terbuka, terlihat Ibu Monis yang keluar.

"Eh, Rendra." Ia tiba-tiba berlari masuk, aku masih terkejut dengan semua ketiba-tibaan ini.

Sosok Monis berada di depan pintu, menggantikan sosok Ibunya tadi.

"Begu Rendra!" Ia memelukku, tak tahu kenapa rasanya perasaan lega mengalir di dadaku. Aku membalas peluknya, air mataku yang hendak mengalir, lekas kuhapus bulir air mata itu.

Ia melepaskan pelukannya dan memandangiku, "Kok 'gak ngabarin?" tanyanya dengan penuh tatap.

"Biar kayak kejutan aja."

"Aku lagi 'gak ulang tahun, kale." Ia berjalan ke teras rumahnya dan duduk di kursi yang ada di sana.

"Sini, sejak kapan urat malumu tersambung?" ejeknya. Aku sedang enggan melawannya.

"Ren, pacarmu apa kabar?"

"Udah putus, nih."

"Beh, playboy, masa tiap aku tanya putus, mulu." Ia tertawa, tawa yang kurindukan. Monis yang kurindukan.

"Ya namanya proses mencari, mana yang cocok mana yang enggak."

"Aku udah ketemu, nih. Nama dia Ruben. Dia baik banget loh, Ren. Ah, semoga dia jodohku."

Iya, semoga ia jodohmu yang dibatalkan, dan aku jodohmu yang dilegalkan. Amin.

"Ren, nanti aku mau ketemuan sama dia, kamu ikut ya, sekalian aku kenalin."

"Iya, ikut." Ikut melihat kegagalanmu, Monis. Aku merasa geli sendiri dengan kata-kataku.

"Ya udah masuk dulu, yuk. Mandi." Ia masuk dan aku mengikuti langkahnya.

Di dalam rumah aku di sambut dengan baik. Keluarga Monis dan aku sudah kenal cukup dekat, karena rumah monis lebih dekat dengan sekolah dulu, jadi aku sering mampir.

"Permisi." Suara berat laki-laki terdengar hingga ke dalam kamar mandi. Aku menebak sepertinya itu Ruben.

Aku memperlambat mandiku, berusaha mendengar yang mereka ucapkan, tapi sia-sia suara mereka terlalu pelan.

Akhirnya aku mempercepat gerakanku. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku pergi ke depan, rasanya aku ingin istirahat karena satu malam tidak tidur. Namun, aku juga harus jaga etika, ini bukan rumahku yang bisa seenakku berbuat.

"Eh, Ben. Ini Rendra, sahabat aku." Aku menyalami tangannya dan menyebut namaku, ia pun demikian.



"Nis, kok 'gak pernah cerita kalau kamu udah tunangan, sih? Jahat banget kamu jadi sahabat." Aku berpura-pura biasa saja.

"Lah, kan kau 'gak pernah nanya." Dengan tatapan yang polos ia memandangku.

"Iya juga ya." Aku tertawa dengan hati yang hancur, doa burukku berbalik buruk padaku.

"Ren, kemaren dia suruh aku buat menjauhimu, loh."

Sialan si Ruben, umpatku. "Terus? Kau iyakan?"

"Enggaklah. Aku bilang gini, kamu enggak bisa larang aku tetap berteman sama Rendra, sebelum aku kenal kamu, aku udah kenal Rendra lebih dulu. Kamu harusnya percaya sama aku karena itu kunci hubungan, lagian aku juga 'gak pernah tuh larang kamu temenan sama siapa aja.

"Dia diam aja, Ren. Kayaknya dia sadar, masa cuma gara-gara dia tunangan aku, dia bisa larang aku buat berteman sama siapa. Iya kan, Ren?"

"Hehe, masih Monis yang dulu ternyata. Kamu senang 'gak sama dia? Bahagia 'gak?" tanyaku setelah mengelus pelan kepalanya.

"Senang banget, Ren. Dia kayak dunia baru yang 'gak pernah aku jelajahi, tiap ngomong sama dia, rasanya senang. Enggak bisa diungkapkan gitu gimana rasanya, Ren."

Aku menghela napas. "Kenapa, Ren?" tanyanya membuatku terkejut.

"Enggak, aku cuma lega aja, akhirnya Bojakku dapat kebahagiaannya." Lagi-lagi aku berbohong.

Yang Monis rasakan adalah apa yang kurasakan padanya. Rasanya ingin menyesal tapi sudah terlambat.

"Ren, aku tidur dulu, ya." Ia masuk, meninggalkanku lagi dalam sunyi.

Tring ....

Tiba-tiba sebuah pesan masuk, setelah lima belas menit Monis masuk. Ternyata dari Ruben, nomorku ia dapatkan saat kemarin ia datang ke mari.

Dia berencana untuk menikahi Monis, katanya di dalam pesan itu. Lalu apa? Dia ingin pamer karena berhasil mendapatkan Monis? Dasar. Kenapa juga aku harus marah? 


–––—

Nantikan part 3 nya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Harapan (Bagian 2)

Tiga Pagi (Bagian 2) -cerpen

Saudade (Bagian 3) -Cerpen