Saudade (Bagian 1) -Cerpen
Anganku terbang melayang pada sosokmu, sahabatku, yang sangat kurindukan.
Aku dan dia sudah bersahabat baik sejak masih di bangku SMP, di mana ada dia, di situ kau bisa temukan aku.
Aku suka memanggilnya dengan sebutan bojak, yang kalau diterjemahkan dari bahasa Batak ke Bahasa Indonesia artinya katak.
Lucu sekali, aku menyebutkan begitu karena ia suka sekali dengan hewan berlendir itu. Kalau katanya, katak itu hebat, diam saja dia bisa makan. Dia bergerak waktu sedang pengin saja, katanya.
"Memangnya kamu katak, Jak?" tanyaku padanya.
"Enggak sih, cuma aku bisa merasakannya." Aku tertawa mendengarnya, bagaimana bisa seorang wanita yang seharusnya jijik dan geli dengan hewan amfibi itu, malah bisa sebaliknya.
Ia bahkan bercita-cita untuk menjadi pawang di kebun binatang agar bisa merawat gajah, hewan yang disukainya setelah katak.
"Mon," panggilku.
"Iya, tumben manggilnya gitu, pasti ada maunya, 'kan?" tebaknya, dan benar sekali.
"Enggak jadi, deh." Aku rasa ini bukan saat yang tepat.
"Ren, katanya kalau dua orang laki-laki dan perempuan 'gak bisa bersahabat, ya?" Ada apa dia tiba-tiba membahas itu?
"Kenapa?"
"Katanya, bakalan ada salah satu yang menyimpan rasa, atau mungkin dua-duanya, katanya gitu. Nih ya, Ren. Aku rasa mereka terlalu mengada-ngada, tau dari mana mereka surveinya? Dan apa yang menjadi tolak ukurnya? Bener 'kan?
"Kalau dipikir-pikir lagi, mereka terlalu sibuk mikirin orang lain dan perasaannya. Tapi, aku yakin, Monalisa dan Rendra, akan selamanya bersahabat." Kata dia dengan sangat bersemangat.
Apa gini ya rasanya baru mau berjuang, tapi sudah ditolak duluan? Aku yakin, Monis cuma butuh waktu lebih lama untuk jatuh cinta, melihat kebiasaannya yang selalu suka hal-hal yang aneh dan luar biasa.
"Ren, janji dong. Sahabat selamanya." Ia mengacungkan jari kelingkingnya di hadapanku, dengan ragu aku menyambutnya.
"Dih, lama banget." Dengan cepat ia meraih jariku.
"Sahabat selamanya," katanya sambil mengangkat jari kami ke atas.
"Ren, ngomong juga, dong!"
"Enggak ah, kayak orang bego."
"Berarti aku bego?" sungutnya, dengan memajukan muncungnya ke depan.
"Hehe, iya." Ia menyilangkan kedua tangannya, dan berjalan mendahuluiku.
Manisnya kamu saat itu, rasanya masih kemarin hari-hari yang kujalani denganmu. Jadi pengen menciptakan mesin pengulang dan pemberhenti waktu kan, agar bisa mengulang semua yang mau kuperbaiki di masa lalu.
Terdengar egois, itulah sebabnya Tuhan menciptakan waktu terus berjalan ke depan, dan penyesalan datangnya di akhir.
Aku sesap kopi panas, asapnya masih mengepul menandakan ia masih panas, kuhisap sebatang rokok yang sedari tadi kubiarkan menyala.
Hujan turun, membiarkan ingatan terbang di kala sore lalu. Saat itu kita selesai bermain layangan, terlalu kekanakan untuk anak tingkat awal SMA. Biarlah, asal bersamamu aku rela kekanakan.
Kala itu, hujan tiba-tiba turun, aku aja kau untuk pulang, tapi kau menolak.
"Ayolah, Jak." Aku menarik tanganmu.
"Sabar, Begu." Aku tertawa, pertama kalinya kau memberi julukan padaku saat itu. Sangat lucu jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu, 'hantu'.
"Ck," decitku kesal, berarti begini rasanya diberi julukan yang tidak menyenangkan, aku ingin tobat menyebutnya 'bojak', tapi bagaimana? Terlanjur nyaman.
"Hidupmu terlalu tegang, Ren. Kalau hujan, pulang. Kalau panas, berteduh. Hujan turun itu berkat, matahari masih bersinar itu rahmat, Ren.
"Masa kanak-kanak itu cuma sekali, kalau kita udah dewasa mana bisa begini lagi." Monis menghentikan kalimatnya sejenak, dan berlari ke pancuran air yang ada di tengah lapangan, dan dengan santainya melompat masuk ke bundaran kolamnya.
Aku hanya mengikuti tingkahnya, "Orang dewasa itu selalu memikirkan gengsi, Ren. Mana pernah orang dewasa saat salah minta maaf, apalagi dengan orang yang lebih kecil dari dia, gengsi.
Entah makan apa mereka dari gengsi. Makanya itu, selagi kita masih dianggap kanak-kanak nikmati saja, sebelum kita menjadi bagian dari mereka." Kata-katamu yang masih kuingat sampai saat ini.
Hingga akhirnya aku menikmati tingkah konyol yang selalu kau lakukan, dan perlahan mulai mengikutinya.
Mulai dari panjat pagar karena ketahuan mencuri mangga Pak Kepala Sekolah, yang terkenal pelit. Saat kutanya kenapa, "Orang pelit harus dikasih pelajaran, Ren. Harta dunia 'gak selamanya bisa dia peluk. Kita curi mangganya biar dia sadar, kalau cuma harta dunia yang bisa dicuri dan dirusak.
"Kalau amal ibadah, 'gak satu orang pun bisa mencurinya, bisa merusaknya. Makanya, sesekali dia harus diajari berbagi."
Haha, aku cuma bisa tercengang mendengarnya. Aku kira seorang Monis hanya seorang yang naif, tidak memikirkan apa pun tentang dunia, tapi ternyata aku salah. Aku yang terlalu naif.
Tapi, di sinilah aku, hanya bisa menunggu dan mencarimu. Aku selalu menunggu hadirmu, pertemuan kita. Saat kau bilang, kau ingin pindah sekolah dan pindah kota, rasanya ada bagian dari diriku yang dipaksa untuk pergi.
Aku ingin menahanmu tinggal, tapi siapalah aku? Hanya teman sepermainanmu. Menyakitkan sekali ketika aku menyebutkan 'hanya teman' itu.
Kita memang selalu bertukar kabar, bahkan video call, tapi itu tidak pernah mengobati kerinduan, hanya menambah beban berat.
Lalu, suatu hari kau bercerita, kau memiliki pacar. Dan, seingatku ia adalah pacar ketigamu, kau bilang, "Ia lelaki yang berbeda, Ren. Ia lain dari mantanku sebelumnya."
Tapi, kau tetaplah Monis, kau tetaplah Bojakku yang paling jantan. Kau mana mengerti soal cinta-cintaan begitu, dan aku yakin. Aku tidak terkejut ketika kau menceritakan itu. Aku bahkan lupa siapa nama pria yang katakan malam itu.
Tapi, aku sangat menyukai peranku ketika aku berpura-pura memiliki kekasih, jika kau datang dan ingin bertemu dengannya, aku tinggal bilang 'kami sudah putus'. Peran yang mudah.
Tak terasa kopi pahitku telah habis, rokok yang kuhisap pun tinggal puntungnya saja, hujan perlahan mulai tenang. Tapi, pikiranku tentangmu tak kunjung padam, tak kunjung redam.
Baru kali ini, di mana ada kau tidak ada aku di sana. Hubungan ini pun terasa semakin jauh, terasa semakin membentang. Tidak apalah, jarak ini yang akan membuat pertemuan terasa lebih berharga.
"Ren, sebenarnya aku berat hati juga mau pindah, tapi ya gimana. Tunggu aku cari uang dulu baru aku bisa hidup sesukaku, tapi enggak bisa sesukaku juga, sih. Aku masih dikekang hak orang lain," Katamu sore itu ketika hendak pergi untuk pamit.
"Iya, aku 'gak akan kangen kau kok, Jak. Soalnya di sini banyak katak buat aku jadiin teman." Hanya itu kebohongan dan kejujuran yang bisa aku katakan, kebohongan perihal aku tak akan rindu pertemuan kita.
Dan kejujuran tentang 'katak' itu. Aku memelihara katak di galian belakang rumah yang aku buat sendiri, dan sering merenung dan berbicara sendiri pada katak-katak itu.
Aku beranjak dari tempatku, dan pergi ke belakang rumah untuk melihat katak-katakku. Duduk di kursi yang sudah aku sediakan sendiri, melamun.
"Ren, kamu ini kenapa sih, Nak?" tanya Ibuku tiba-tiba, membuatku terkejut dan sadar dari lamunanku.
"Eh Ibu, enggak, cuma lucu aja ini kodoknya."
"Emang udah sawan kamu ini, ya." Ibu tertawa, dan duduk di kursi sebelahku, sengaja kuletakkan di sana, agar saat Monis pulang ia sudah memiliki tempat di sini.
"Ren, Ibu tahu kamu kenapa-kenapa, 'gak usah bohong sama Ibu. Ibu baca kok diari kamu." Aku melolot, terkejut. Ibu hanya merespon dengan tawa, menyebalkan sekali Ibu tua ini.
"Bu! Itu barang pribadi!" keluhku.
"Ren, kalau Ibu 'gak baca, mana ngerti Ibu kamu kenapa. Tiap hari kerjaannya cuma melamun, padahal udah tua. Ibu juga bukan cenayang, kali. " Ia mengelus pelan pundakku, terasa hangat tangannya, berbanding terbalik dengan cuaca dingin setelah hujan ini.
"Ren, obat rindu cuma pertemuan. Cuma pertemuan yang bisa mengobati. Jangan berharap kamu tiba-tiba ada orang lain yang bisa menggantikan posisinya sedangkan kamu begini, sibuk menutup diri untuk orang lain." Aku hanya diam mendengarkan suara kecil dan seraknya Ibu.
"Kamu kalau kangen dia, temui. Lagian kamu 'kan dah cukup umur buat merantau, ngapain terus di sini mengingat-ingat kenangan," sambungnya lagi.
"Ren, kamu sadar 'gak, kamu keluar-masuk kerja itu bukan karena kamu belum siap untuk kerja, tapi pikiran kamu aja yang selalu terbayang wanita itu. Saran Ibu, temui aja dia, merantau saja."
"Benar boleh?" tanyaku antusias.
"Iya, boleh. Mana pernah Ibu larang kamu."
"Terima kasih, Bu." Aku menciumi punggung tangannya. Aku sangat bersyukur akan restu yang ia berikan.
-------
Terima kasih waktunya
Komentar
Posting Komentar