Tentang Harapan (Bagian 1)
Hujan tiada henti-hentinya mengguyur seluruh wilayah Hagen secara merata. Hujan yang terjadi sejak siang ini, juga tidak menunjukkan adanya tanda-tanda berhenti untuk turun, malah semakin ganas disertai adanya angin yang kencang. Langit pun meredup.
Akibat dari hujan yang tidak kunjung berhenti untuk singgah, menyebabkan udara dingin yang sangat menusuk menyelimuti seluruh wilayah Hagen---merupakan nama desa di wilayah kecil pinggiran kota, yang berada dekat bantaran sungai.
Tempat ini berada tiga kilometer dari rumahku. Setiap hari memang tugasku pergi berjualan kue-kue basah tradisional. Ini semua demi membantu perekonomian keluargaku, aku senang melakukannya.
Tubuhku kini bergetar hebat, bibirku membiru dan sesekali merinding seluruh bulu romaku saat terpaan angin datang menghembus, mengelus tubuhku. Udara dingin semakin menusuk kala hari semakin sore, dan sedari siang tadi matahari tidak menunjukkan eksistensinya.
Aku duduk sendirian di sudut ujung di depan toko yang tutup, dengan posisi meringkuk, aku mencoba menepiskan segala rasa dingin. Walau sebenarnya sia-sia melihat bajuku yang sangat tipis---faktor karena terlalu sering dipakai---juga longgar, terdapat banyak sobekan di beberapa bagian, ditambah lagi aku hanya memakai celana pendek selutut. Gigiku sesekali menggertak karena saking dinginnya udara saat ini.
Cacing-cacing di perutku juga tidak tahu diri dan tidak tahu keadaan, entah kenapa di saat seperti ini mereka malah meminta jatahnya dengan segera, tetapi wajar jika saat ini aku merasakan kelaparan, karena sedari pagi, perutku tidak mengolah apa pun.
Aku memandangi kue-kue daganganku dengan penuh binar, kue yang masih belum terjual sebiji pun sejak pagi saat aku mulai berkeliling. Warnanya menarik perhatianku, terlihat sangat menggiurkan.
Tanganku terulur mengambil sepotong kue itu, dengan perasaan ragu aku hendak memakannya. Namun, buru-buru aku meletakkannya kembali. Tiba-tiba aku teringat pada ibu, aku takut nanti ibu marah padaku jika aku memakan kue-kue ini. Aku menepiskan rasa lapar dan keinginan hendak memakan kue-kue itu, dan menutup kotak kue itu kembali sebelum air hujan menyapanya.
Hujan sekarang tidak seganas tadi, tetapi masih dalam kategori deras, sudah berjam-jam aku berada di toko yang tutup ini. Perutku semakin perih dan melilit, udara dingin semakin menyiksaku. Aku kembali memandang ke arah kotak kue itu---lagi. Isi kotak itu tampak makin menggiurkan dan seolah merayuku dan berkata, "Makan aku, Velaz. Ayo, apa yang kau tunggu?" aku menelan salivaku perlahan, berusaha agar tidak tergoda untuk memakannya. Namun, sulit sekali, aku sangat lapar.
Sepertinya jika aku memakan satu atau dua potong kue ini, ibu tidak akan terlalu marah, lagipula aku belum pernah mencoba melakukan hal ini sebelumnya, toh ibu tahu pasti mengerti bahwa aku sangat lapar dan belum makan dari pagi, pikirku.
Kue lapis hijau terbungkus plastik transparan kini sudah dalam genggamanku. Semoga ibu tidak marah, harapku, bersamaan dengan masukknya kue tersebut ke dalam mulutku, lalu membuang plastik pembungkusnya ke sembarang tempat.
Dengan khidmat aku mengunyah kue lapis tersebut, terasa begitu manis dan teksturnya yang lembut memanjakan lidahku, seluruh rasa manis yang ada di dalam kue itu, kini sudah berpindah ke lidahku. Dan dengan senang hati aku menelan kue yang telah lumat kukunyah barusan. Namun, entah kenapa, rasanya sepotong kue tadi kurang. Satu lagi sepertinya tidak masalah, pikirku.
Dengan ragu-ragu aku mengambil sepotong kue lagi, kue yang berwarna cokelat, teksturnya mirip agar-agar dan di atasnya ditaburi parutan kelapa.
"Ibu, aku minta satu lagi, tolong jangan marah ya," gumamku di dalam hati dengan penuh harap bersamaan dengan masuknya segigit dari kue yang legit itu ke dalam mulutku, memang apa saja yang dimakan dalam keadaan lapar itu akan terasa dua kali lebih lezat. Segigit lagi masih tertinggal di tanganku, tanpa ragu aku memasukkan kue itu ke dalam mulutku.
"Misi selesai," gumamku pelan. Perutku yang tadi terasa sangat lapar dan perih, perlahan-lahan membaik.
Kini tatapanku teralih pada titik-titik hujan yang turun dari atas atap yang terbuat dari seng.
Seberapa sedihkah langit biru, hingga tangisnya tidak kunjung berakhir, dan apa yang membuatnya bersedih? Langit makin gelap, sampai aku tidak bisa memprediksi apakah ini masih sore atau sudah senja? Entahlah, karena sudah dari siang langit meredup akibat mendung dan mentari enggan muncul.
Apakah matahari lupa berdandan, hingga ia malu berhadapan dengan banyak orang, bahkan sekedar menyapa pun tidak. Bodoh sekali mentari, pikirku. Bukankah ia akan tetap bersinar walau tidak berdandan sekali pun?
Semakin lama aku duduk di sini, rasanya aku akan menjadi gila karena pikiran liar dan pertanyaan yang tidak perlu dijawab ini.
"Oh ... tidak, tidak." Kenapa hujan jadi semakin deras, apakah pertanyaan dan celotehanku di dengar oleh penduduk langit, sehingga mereka menghukumku untuk duduk lebih lama lagi di sini?
Kalau begitu, tolong hentikan hujan ini wahai penduduk langit, aku ingin segera pulang, di sini sangat dingin dan tidak nyaman. Banyak sekali nyamuk dan aku sangat lapar.
Aku benar-benar sudah gila sepertinya. Siapa yang akan mendengar permohonan konyol ini, walaupun ada yang menghuni bumi atas, siapa yang akan mendengar harapanku? Mereka pasti sedang sibuk menghibur langit yang tidak kunjung ceria. Lagipula, jarakku dengan langit terbentang sangat jauh, siapa yang akan peduli?
Udara dingin, perut kelaparan dan kerinduanku dengan rumah membuatku hilang akal. Aku ingin sekali pulang, tolonglah dengarkan aku semesta.
"Hei, sepertinya berhasil!" pekikku, walau di dalam hati.
Lima menit setelah berharap, perlahan hujan mulai mereda. Sekitar lima belas menit kemudian berubah menjadi gerimis yang lumayan deras. Aku memasukkan kotak plastik yang berisi kue itu ke dalam baju dan mendekapnya. Aku berpikir untuk menembus hujan. Jika kesempatan ini tidak kugunakan, mungkin aku tidak akan pernah sampai ke rumah. Aku mulai membulatkan tekadku.
Satu... dua... tiga....
Aku berlari saat sudah sampai pada hitungan ketiga, aku tidak peduli lagi jika hujan akan membuatku sakit, yang paling terpenting saat ini adalah pulang. Aku tidak sabar lagi untuk mandi dan berganti pakaian, aku tidak mau mati kedinginan di tempat tadi.
Jalanan basah dan becek, genangan air ada di mana-mana. Jalanan di sini masih belum diaspal, jalanan hanya berupa tanah yang ditimbun dan diratakan. Aku berlari terus seraya melindungi kotak kue itu dalam dekapku agar tidak terkena air hujan. Aku mengabaikan baju dan kakiku yang basah dan kotor terkena cipratan lumpur dari jalanan yang becek. Aku tidak bisa memilih jalan yang benar karena aku mataku setengah terbuka. Orang-orang sudah ramai keluar dari kediamannya masing-masing, sebab hujan kini sudah mereda.
Hujan yang sebelumnya sangat deras kini hanya menyisakan rintik-rintik, aku sudah bisa berjalan santai. Kini langit sudah kembali ceria, ia mempertontonkan semburat kemilauan berwarna jingga dan lengkungan hasil pembiasan cahaya dalam tujuh rupa warna yang indah, mahakarya langit yang mampu menghadirkan sejuta euforia
Dahulu, sewaktu aku masih kecil, aku selalu berkhayal dan berharap untuk dapat menemukan ujung dari pelangi. Yang konon katanya, di ujung pelangi itu ada banyak sekali harta karun dan lengkungan warnanya sendiri adalah naga yang sedang menjaga harta itu, dan di ujung yang lainnya ada bidadari yang turun dari kayangan hanya untuk mandi sejenak, sang naga juga turut menjaga mereka agar selendangnya tidak lagi dicuri seperti dalam cerita Jaka Tarub---kalau tidak salah.
Akhirnya aku tersadar, setelah beberapa saat aku terhipnotis dalam pesona biasan cahaya itu, tubuhku mematung dan pandanganku sama sekali tidak lepas darinya.
Aku kembali memandangnya sembari berjalan pelan. Akhirnya aku menyadari satu hal, pelangi yang sedari tadi kupandangi ternyata kembar. Ada sebuah lengkungan di balik pelangi itu, dan berwarna lebih pudar dari yang satunya.
"Hei, itu ada pelangi!" tampak seorang anak dengan semangat menunjuk-nunjuk pelangi kepada teman-temannya. Mereka tampak sangat gembira.
"Pelanginya enggak boleh ditunjuk-tunjuk, nanti kamu kena sial lho." Salah satu dari gerombolan anak-anak itu menasehati temannya yang memberi tahu perihal pelangi itu.
Aku sendiri baru mendengar mitos tentang menunjuk pelangi. Aku berlalu dan mengabaikan gerombolan anak-anak kecil itu.
Byur....
Belum jauh aku berjalan, nasib sial menimpaku. Sebuah truk menabrak genangan air dan sukses membuat tubuhku basah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gerombolan anak-anak yang tadi asyik memandangi pelangi kini asik tertawa, betapa malunya aku.
Aku tidak memedulikan mereka dan pergi dengan langkah cepat. Aku panik saat ingat mengenai kue yang sudah kubawa dengan posisi normal---tidak lagi kudekap---aku mengecek bagaimana kondisi kue yang ada di dalamnya.
"Gawat! Sudah basah semua. Aduh, bagaimana ini?" aku yang tadinya bersemangat untuk pulang, kini berharap hujan turun terus bersama badai sampai pagi menjelang. Pasti ibu akan sangat marah, pikirku dengan perasaan sangat takut.
Bagaimana tidak marah, aku berjualan sedari pagi dan pulang sangat terlambat, tetapi tidak ada satu pun kue yang terjual. Aku malah memakan dua potong kue dan membuat basah sisanya. Sial sekali, hujan kumohon turunlah bersama badai sekarang. Aku sangat takut.
"Ck ... sudahlah." Aku berjalan dengan langkah gontai, tidak sesemangat tadi. Aku hanya memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang untuk mengganti semua kerugian ini. Aku tidak pernah mengalami hari dengan penuh kesialan di dalamnya. Aku ingin sekali menangis sekarang, ingin sekali mengadu, tapi pada siapa? Tidak akan ada yang mau mendengarkan ceritaku ini.
Pandanganku terfokus pada penampilanku yang sangat berantakan. Aku terlihat seperti pecundang sekarang, dengan baju dekil yang sudah memudar warnanya, sama seperti celanaku tidak jauh beda dan kedodoran, juga sobek di beberapa bagian. Rambut dengan panjang sepunggung tidak terurus dan sangat lepek juga tipis, wajahku yang kusam dan kotor menambah kesan pecundang padaku, aku lebih pantas disebut orang gila daripada anak perempuan berusia dua belas tahun.
"Ah, mengapa aku jadi mengeluh?" pikirku. Aku sudah cukup dewasa untuk belajar bersyukur dan pengertian pada keadaan. Aku harus mengerti bahwa aku begini untuk membantu memenuhi kebutuhanku orang tuaku juga, dan sedikit membantu biaya sekolah Kak Lewis---kakak laki-lakiku. Aku harus kuat menahan beban ini dan membunuh setiap keegoisanku, aku harus bersabar.
Aku harus menjadi seperti pelangi yang hadir setelah hujan. Walau hanya sesaat, tetapi selalu dinanti pesonanya yang mampu membuat orang-orang larut dalam euforianya, walau tidak setiap turun hujan pelangi datang.
Seperti pelangi yang mampu membanggakan langit, demikian aku harus menjadi kebanggaan kedua orang tuaku. Kehidupan kami sudah sulit, aku tidak boleh mempersulit mereka dengan terus mengeluh begini. Kamu pasti bisa, Velas.
Tidak terasa sudah dua kilometer aku jalani, masih ada satu kilometer lagi yang harus aku tempuh untuk sampai ke rumah, ini sudah lumayan dekat. Dengan perasaan setengah takut karena pasti ibu akan memarahiku, dan setengah senang karena sebentar lagi aku akan segera membersihkan diri dan mengganti baju kumuh ini dengan pakaian yang hangat, lalu belajar membaca bersama Kakak agar aku makin mahir. Aku belum terlalu pandai dalam membaca, tapi aku sangat mahir dalam berhitung. Dulu saat aku masih bersekolah, nilai matematikaku selalu bagus, bahkan aku diberi predikat siswi teladan oleh guru matematikaku.
Aku juga ingin melanjutkan sekolahku yang berhenti di kelas tiga SD. Aku ingin menjadi seorang hakim, meluruskan apa yang menyimpang, memahami dan mempelajari seluruh sudut pandang, aku ingin menjadi salah seorang yang mampu menegakkan kembali hukum yang perlahan hancur tergerus oleh waktu juga ketamakkan.
"Dek?" tiba-tiba seseorang berperawakan tinggi, putih, berambut cepak dan memiliki wajah tampan memanggilku dari atas motor besarnya, aku terperanjat karena hanya fokus pada lamunanku, sampai-sampai tidak memerhatikan sekitar dan jalanan yang kupijak.
"I---iya, Kak?" dengan takut-takut aku menjawab seraya menatap ke arahnya.
"Kamu mau kemana? Biar Kakak anterin, ayo," ajaknya sembari mengembangkan senyuman. Aku takut ia akan sakit hati jika menolak tawarannya, tetapi jika aku menerima tawarannya---belum tentu ia orang baik---bisa saja aku diculik olehnya, karena aku tidak mengenalnya dan sebelumnya aku tidak pernah melihat sosoknya. Dan kemungkinan terburuk, bisa saja ia adalah seorang penculik yang mengincar organ dalam anak-anak. Walau aku sadar diri melihat penampilanku yang seperti gembel ini, tapi waspada tidak apa-apa, bukan?
"Em ... enggak mau ke mana-mana, Kakak duluan aja." Aku menolak tumpangannya secara halus, di dalam hati kecilku berharap semoga ia segera pergi. Kakak itu hanya mengerutkan dahi seolah tidak mengerti maksud perkataanku, padahal jelas-jelas itu kalimat penolakan.
Dengan perasaan yang tidak enak dan senyuman yang aku paksa mengembang, aku berusaha mencari alasan lain untuk makin meyakinkannya bahwa aku sungguh tidak membutuhkan tumpangannya.
"Yakin?" ia angkat suara, setelah aku terdiam selama beberapa detik.
"Enggak usah, Kak. Itu rumahku yang warna ungu." Aku menunjuk ke sebuah rumah yang sebenarnya berwarna kuning. Bodohnya aku, bisa-bisanya salah bicara.
"Rumah kuning ya---" Belum selesai ia berbicara, aku langsung berlari menjauh meninggalkannya.
"Semoga aku tidak dikejarnya."
Sepertinya sudah lumayan jauh aku berlari. Sejenak aku menoleh ke belakang, memastikan bahwa Kakak misterius itu tidak mengejar ataupun mengikutiku, setelah yakin tidak ada yang aneh, aku melanjutkan perjalananku.
"Dasar orang zaman sekarang, memperkaya diri dengan cara menindas dan memeras orang miskin dan lemah," rutukku di dalam hati. Bagaimana tidak? Jika mereka tidak menempuh jalan kotor itu, uang yang mereka hasilkan tidak akan pernah cukup untuk memberi makan hawa napsu dan keserakahan yang ada di diri mereka.
"Eh, kok aku malah menghujat? Tidak semua dari mereka begitu, Velas."
Sekitar seratus meter lagi aku akan sampai di rumah, sebab jalanan dan bangunan yang kulewati sudah sangat familier, orang-orang yang berlalu-lalang---baik berjalan kaki ataupun menaiki kendaraan---rata-rata sudah kukenali.
Sial, rumahku sudah terlihat, rumah kontrakan yang tampak kumuh, sangat tampak mencolok perbedaan rumahku dengan yang rumah yang ada di sebelahnya.
Aku dengan takut melangkah masuk ke dalam rumah secara diam-diam melalui pintu belakang
Aku berharap supaya ibu sedang tidak berada di rumah saat ini. Namun, belum selangkah aku masuk ke dalam dapur, tubuhku dibuat mematung oleh sesosok penampakan. Ya, itu ibuku sedang menungguku, ia duduk sembari menatap gawainya. Ia belum menyadari keberadaanku.
"Gawat, apa yang harus aku perbuat?" pikirku di dalam hati.
Terlambat, ia sudah menatapku. "Dari mana aja kamu?" tanyanya dengan nada santai, tetapi sorot matanya begitu mengintimidasi. Aku hanya bisa menunduk menahan semua perasaan takutku, aku takut melihat raut wajah ibuku saat ini.
Aku hanya bisa terdiam, lidahku terasa kelu, tanganku bergetar menahan rasa takut.
"Mana setoran?" pertanyaannya sontak membuatku kalut, aku tidak tahu harus menjawab apa, aku sama sekali tidak mendapatkan uang sepeser pun.
"Jawab!" bentaknya seraya melangkah menghampiriku, ia mengambil paksa kotak kue yang ada dalam dekapanku.
Melihat isi kotak itu masih terisi banyak kue, matanya memelototiku. "Ini kenapa?!" bentaknya bersamaan dengan melayangnya kotak kue itu dan tepat mengenai kepalaku, lalu jatuh ke lantai membuat seluruh isinya keluar.
Plak ....
"Kamu punya mulut jawab!" Ia menampar bibirku dengan punggung tangannya, air mataku sudah mengucur deras. Aku tidak berani menangis, sebisa mungkin aku menahannya hingga yang terdengar hanya suara tangisku yang terisak.
Tidak puas hanya menamparku, ia kemudian menendangku sampai terjatuh, kepalaku membentur dinding dengan sangat keras, membuat pandanganku buyar sejenak.
"Kenapa kuenya jadi begitu!? Jawab!"
Ia menjambakku dan menyeret tubuhku menuju ke kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi, ia memaksaku untuk berdiri. "Anak tidak berguna!"
Ia menceburkan wajahku ke dalam bak mandi secara berkali-kali, dadaku terasa sesak karena perlakuannya. Caciannya terdengar samar.
Ah, mengapa ibu memukuli sekejam ini, tidak seperti biasanya. Velas, ini memang kesalahanmu, kenapa pakai bertanya---batinku berkonflik.
Rasa sakitku tidak hanya sampai di situ. Ibu pergi mengambil sebuah rotan yang biasa digunakannya untuk memukuli.
Aku hanya bisa menangis saat melihatnya tiba dengan rotan yang ternyata lebih besar dari biasanya. "Bu, ampun." Aku bertelut dan menangis sesenggukan.
Pak ... pak ... pak ....
"Aaaa .... " Tiga kali rotan itu menyapa tubuhku, sesaat kakiku menjadi kebas dan nyeri.
"Ampun, Bu." Ia tidak mengindahkan rintihanku, ia malah makin ganas memukuliku dengan rotan. Mulai dari kaki hingga ke badanku, sesekali ia menendangku. Sakit, Kak Lewis, tolong Velas. Tubuhku tidak lagi merasakan sakit saat rotan itu membentur tubuhku.
"Jangan pernah panggil aku ibumu!." Ia membenturkan kepalaku ke dinding, aku merasakan darah mengucur dari kepalaku.
"Kamu kira kamu anak yang aku harapkan?! Kamu kira kelahiranmu adalah keinginanku?! Dasar anak haram!"
Haram? Apa itu anak haram? Apakah anak haram itu mirip seperti anak yang begitu dinantikan atau semacamnya, aku belum pernah mendengar kata itu sama sekali.
Aku berdiri melawan segala rasa sakitku, aku memaksa berdiri walau kakiku gemetar karena kesakitan. Aku memeluk tubuhnya.
"Apa-apaan kamu!? Menjauh!"
"Terima kasih, Bu." Ibu terdiam saat aku memeluknya, matanya terlihat berkaca-kaca. Apakah ia terharu? Maaf selalu membuatmu marah seperti ini, aku janji tidak akan nakal lagi.
Tapi sesaat kemudian ekspresinya berubah menunjukkan rasa jijik.
"Jangan pernah panggil aku ibumu! Atau kupatahkan kakimu! Hendra meninggalkanku karenamu!?" pekik ibu dengan suara yang bergetar.
"Ibu jangan menangis, Velas janji enggak nakal lagi, Bu. Velas bakalan jualan kue lebih banyak lagi besok." Aku tidak pernah melihat ibu menangis seperti itu.
"Diam kamu! Pergi dari rumah ini!"
"Nanti Velas tinggal dimana? Jangan usir Velas, Bu." Ibu mendorongku dengan sangat keras, tubuhku membentur ujung pintu, terasa remuk seluruh tubuh ini. Aku tidak bisa lagi berdiri.
"Kak Lewis."
Kak Lewis sepertinya baru pulang dari kegiatan ekstrakurikulernya. "Bu! Kenapa Velas digituin." Ia melemparkan tasnya ke sembarangan arah, lalu ia mendekapku erat. Aku terasa aman saat di dekatnya.
Ibu menggapai tangan. "Lepas Lewis!" Ibu berusaha melepaskanku dari dekapan Kak Lewis dengan menarik tanganku secara paksa, rasanya sebentar lagi tanganku akan lepas dari tempatnya. Kak Lewis tetap menahanku dengan sepenuh tenaganya, tapi ibu lebih kuat.
Tanpa rasa iba ia menarik-narikku, sampai memijak tanah pun kakiku tidak sempat, dengan terseok aku berusaha untuk mengimbangi langkah ibu menuju keluar rumah.
Kak Lewis tetap mengejar, sembari terus berkata, "Bu, kenapa Ibu kejam banget!"
"Diam! Gara-gara dia, ayah kamu pergi! Gara-gara kelahirannya Hendra meninggalkanku!"
Ayah pergi gara-gara aku? Memangnya apa yang aku lakukan?
"Kalau Velas pergi, Lewis ikut---"
"Bu, aku siapa? Apa aku enggak bakal bisa jadi tombak untuk mewujudkan harapanmu? Maaf, aku minta maaf masalah Ayah. Jujur, Velas sama sekali enggak pernah suruh Ayah pergi---" Aku tidak bisa menahan gejolak emosi yang ada di dalam benakku, rasanya menyakitkan.
"Terima kasih banyak ya, Bu. Udah repot-repot besarin Velas, walaupun Velas bukan siapa-siapa. Velas bakalan pergi, Bu. Semoga Ayah cepat kembali setelah Velas pergi. Maaf sekali lagi karena Velas sudah mengganggu kebahagiaan Ibu seperti ini. Walau emang kayaknya Velas bakalan kangen sama Kak Lewis dan sama Ibu."
Baru saja aku ingin melangkah pergi tiba-tiba saja Ibu berteriak, "Argh ... Ibu yang bodoh!" tiba-tiba Ibu menangis sejadi-jadinya, ia memukul-mukuli dirinya, mulai dari menjambaki, menampari, hingga menjedotkan kepalanya ke dinding.
Kak Lewis dan aku berusaha menahan Ibu sekuat tenaga.
"Maaf, Velas." Ibu bersujud di kakiku.
"Bu, Ibu ngapain. Velas yang minta maaf, Bu."
"Bunuh Ibu, Velas. Ibu yang gagal tapi Ibu malah mengambing-hitamkan kamu, Nak." Ibu kembali menarik-narik rambutnya, wajahnya terlihat sangat depresi.
"Masuk dulu, Bu. Kita selesaikan di dalam aja. Udah malam ini, apalagi sekarang udah sepi." Lewis membantu Ibu berdiri
Bintang dan bulan enggan menampakkan wajahnya, entah mereka turut bersedih atau malah enggan untuk menghiburku, entahlah. Cuaca sangat dingin, dan aku belum mengganti pakaianku. Ibu menyuruhku untuk mandi dulu, lalu ia memasakkan sup hangat untuk kami bertiga. Malam ini Ibu tiba-tiba sangat berubah, bukan lagi Ibu yang sering memukuli atau mencaciku dengan kata-kata kasar. Malam ini ia benar-benar seorang Ibu untukku.
"Velas, maaf ya, Nak. Ibu bukan orang tua yang baik selama ini, besok Ibu akan mendaftarkanmu sekolah lagi. Ibu janji akan memperbaiki diri."
Mendengar penuturannya membuat mataku berkaca-kaca. Benarkah ini? Apa penghuni langit melihat kejadian yang selalu aku alami? Terima kasih semesta, semoga harapanku menjadi seorang hakim akan terbuka lebar.
"Ibu 'nggak bohong, 'kan?" tanyaku dengan mata yang memancarkan binar.
"Enggak, Ibu sudah sadar saat ini. Seharusnya Ibu belajar menerimamu bukan? Ini semua kesalahan Ibu, Ibu menarik semua kata-kata Ibu---" Ibu menunduk sejenak, membiarkan secercah kekuatan menjalar menjadi air matanya.
"Ibu---"
"Ibu sangat bangga punya malaikat pelindung yang begitu kuat, yang berwujud dalam bentuk Velas, dan Lewis---" Ibu mendekapku dan Lewis ke dalam pelukannya.
"Kelahiran Velas bukan kesalahan. Bukan dosa Velas, itu dosa Ibu. Ibu yang harus menanggungnya, bukan malah menyiksa kamu seperti ini." Belaian tangan Ibu sangat lembut. Aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang dikatakan olehnya, tapi aku ingin selalu seperti ini.
"Velas juga sayang Ibu. Ibu yang seperti ini yang selalu Velas butuhkan."
Satu malam berlalu, menggoreskan tinta dengan warna yang indah. Hidup itu sama seperti pelangi, setiap kisah, masalah dan kejadian yang hadir, bergantian memberi warna. Jangan hanya kisah indah yang mampu untuk dilalui.
Aku Velas, si gadis kecil penanti pelangi. Kini aku tidak lagi perlu mengharapkan pelangi hadir setelah hujan---lagi, karena kehidupanku adalah pelangi itu sendiri.
Ini adalah tentang harapan. Harapan yang aku pikir hanya akan tetap menjadi angan. Namun, ia tetap datang menghampiriku. Ini adalah pembuktian, bahwa harapan tidak akan mengecewakan. Yang membuat harapan itu menjadi mengecewakan adalah karena waktunya kadang kurang tepat.
Sama seperti kau mengharapkan seseorang, yang membuatmu kecewa adalah ketika orang yang kau harapkan justeru bukan ia yang membalas harapanmu itu.
Sabar, wujud dari harapan itu banyak. Jangan kecewa ketika tidak sesuai dengan apa yang kau ekspektasikan, karena yang hadir saat ini bisa jadi adalah harapanmu di masa lalu yang telah kau lupakan.
Ini benar tentang harapan.
Komentar
Posting Komentar